KabarPendidikan.id Koalisi masyarakat sipil mengklaim bahwa pengesahan RUU Masyarakat Adat akan memungkinkan peningkatan ekonomi yang lebih berkelanjutan. Menurut aliansi yang tergabung dalam Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat, masyarakat adat dapat menikmati pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Menurut Uli Artha Siagian dari Tim Kampanye Koalisi RUU Masyarakat Adat, RUU
tersebut memiliki kekuatan ekonomi yang kuat selain membantu masyarakat adat.
"Selain ekonomi rakyat sudah terbangun, kehidupan masyarakat juga ditopang oleh lingkungan yang baik." Ujar Uli, sebagaimana dilansir antara Senin(24/3).
Dia menegaskan bahwa mengutamakan kepentingan masyarakat dapat berdampak lebih
besar daripada keuntungan ekonomi. Masyarakat adalah penerima manfaat langsung dari valuasi ekonomi yang
dihidupkan dan dipraktikkan oleh masyarakat adat. Menurutnya, jika negara
memiliki mekanisme untuk menghasilkan pemasukan negara, mekanisme seperti
perhutanan sosial dapat diikuti.
Ia menekankan betapa pentingnya untuk mengubah paradigma ekonomi, beralih dari
ekonomi industri yang berpusat pada masyarakat adat.
"UU Masyarakat Adat sangat penting
karena memastikan adanya perlindungan, bukan hanya pengetahuan, melainkan juga
praktik lokal di tengah masyarakat adatnya. Jadi, kami mendorong untuk tidak
lagi menunda pengesahan RUU tersebut." Kata Uli.
Sebelum ini, Agustin Teras Narang, anggota DPD RI, mengingatkan bahwa pengesahan RUU Hukum Adat membawa perlindungan dan pemberdayaan selain pengakuan hak.
”Karena itu adalah keharusan konstitusi, dan keadaan masyarakat adat juga
membutuhkan keyakinan itu. Kami, masyarakat hukum adat, bukan hanya memerlukan
pengakuan dan penghormatan, tetapi juga memerlukan perlindungan dan
pemberdayaan." Ucap Agustin.
Dia menyatakan bahwa kearifan lokal dan masyarakat adatnya berkontribusi pada
tata kelola lahan dan pemanfaatan sumber daya alam yang berkelanjutan. Pada tahun 2024, terjadi 687 konflik agraria di
wilayah adat, menurut data yang dikumpulkan oleh Aliansi Masyarakat Adat
Nusantara (AMAN).
Konflik tersebut mengakibatkan kehilangan 11,07 juta hektare tanah adat karena
ekspansi korporasi dan proyek pembangunan yang dilakukan tanpa persetujuan
masyarakat adat. Sebanyak 925 anggota masyarakat adat dihukum, 60 mengalami
kekerasan pemerintah, dan satu orang meninggal.
(DA/DYL)