Prof. Dr. Abdul Rahman A.Ghani., Sekretaris I Sekolah Pascasarjana UHAMKA/ Guru Besar UHAMKA |
Kasus bullying di sekolah-sekolah makin marak belakangan ini, terbaru ini terjadi di salah satu satuan pendidikan Petukangan, Jakarta Selatan dan di Cimanggu, Kabupaten Cilacap, Jateng bahwasanya salah satu peserta didik "menghajar" peserta didik lainnya sampai tak berdaya.
Sebelumnya juga ada peserta didik di Demak yang bahkan tega "membacok" pendidiknya (guru) sendiri bahkan masih banyak lagi fenomena kekerasan dan bullying di tempat yang justru menjadi penjaga pendidikan generasi, yaitu sekolah. Tidak hanya itu, jauh sebelumnya juga marak kasus "pencabulan" terhadap peserta didik dan atau santri oleh para pengasuh atau pengajar.
Kita barangkali tidak membayangkan, bagaimana mungkin seorang peserta didik sekolah dapat berlaku "brutal" diluar kewajaran moral. Berdasar video yang beredar di Media sosial, seakan tidak ada sedikit pun rasa “toleransi” yang tersisa pada peserta didik pelaku penganiayaan ketika "menghantam" peserta didik lain yang sudah dalam kondisi lemah dan kesakitan, seakan mengingatkan pada kasus penganiayaan MD kepada D beberapa bulan lalu.
Terlebih hal itu dilakukan di lingkungan sekolah yang merupakan gudang pengajaran ilmu dan moral. Dalam perang saja, menghabisi musuh yang tidak berdaya adalah suatu “pantangan”; begitu pula, setiap pertandingan perlu ada lawan yang sebanding. Namun, dalam kasus peserta didik di satuan pendidikan Cimanggu yang terjadi adalah peserta didik yang merasa kuat “membantai” terhadap peserta didik yang dalam kondisi lemah. Begitu pula dalam kasus "pembacokan" terhadap pendidik di Demak.
Dengan fenomena tersebut, kita patut bertanya: Ada apa dengan generasi kita?
Lalu, bagaimana dunia pendidikan melihat fenomena tersebut ?
Jika kita berkaca pada teori perilaku, kita barangkali dapat menduga bahwa apa yang dilakukan oleh pelaku merupakan ekspresi dari “kemarahan” dari si pelaku kepada sasaran. Pelaku merasa bahwa apa yang dilakukan oleh “lawannya” merupakan sesuatu yang tidak sesuai dengan kemauan dan bahkan dapat menjadi ancaman bagi dirinya. Untuk kasus di salah satu satuan pendidikan Cimanggu misalnya, merujuk kepada pengakuan yang diungkap oleh media, pelaku marah karena “korban” bergabung dengan kelompok lain yang bisa jadi kelompok lain tersebut adalah ancaman bagi dirinya. Begitu pula yang di Demak, pelaku memperoleh nilai yang jelek dan itu jelas menjadi ancaman “tidak naik kelas” bagi pelaku maupun hal lain yang dipersepsikan sebagai ancaman oleh pelaku.
Dan dapat dipastikan, hampir semua perilaku kekerasan ada motif yang melatarbelakangi, baik motif individu maupun kelompok. Namun, yang perlu dicermati adalah mengapa kekerasan banyak dipilih untuk merespon atas “ancaman”?
Hal itu tidak hanya terjadi di sekolah sebagaimana kasus di atas, namun juga hampir merata ditengah masyarakat. Kita bisa scroll berbagai pemberitaan setiap hari yang selalu diwarnai dengan kekerasan, mulai hanya sekadar tersinggung ucapan, rebutan pacar, hingga masalah hutang-piutang, dan lain sebagainya.
Di lingkungan pendidikan sendiri, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) telah mendata kasus kekerasan seksual yang terjadi di wilayah satuan pendidikan yang berada di bawah kewenangan Kemendikbudristek maupun Kemenag. Hasilnya, dalam lima bulan terakhir sudah terjadi 22 kasus dengan jumlah korban mencapai 202 anak peserta didik. Adapun sebaran pelakunya antara lain: Kepala sekolah (13,63 persen), guru ngaji di satuan pendidikan informal (13,63 persen), pengasuh asrama/pondok (4,5 persen), kepala madrasah (4,5 persen), penjaga sekolah (4,5 persen), dan lainnya (9 persen).
Jika memang demikian halnya, maka keberadaan generasi memang sedang dipertaruhkan. “Bonus Demografi” yang digadang-gadang sebagai potensi bagi Indonesia emas akan menjadi "bumerang", jika berbagai kekerasan di dunia pendidikan terus mengalami peningkatan dan eskalasi.
Hal ini merupakan tugas dan tantangan yang cukup berat bagi dunia pendidikan. Tidak hanya dalam menghadapi masalah eksternal, justru hal yang paling berat adalah karena banyak kasus kekerasan terjadi oleh internal pendidikan itu sendiri, baik antara pendidik dengan anak didik, antar pendidik, dan sesama anak didik.
Sementara di sisi lain, pendidikan juga dihadapkan dengan hiruk pikuk kemajuan zaman sekarang ini yang telah mengantarkan manusia kepada banyak kemudahan, terutama dipicu oleh kecanggihan teknologi informasi komunikasi. Dunia seakan dilipat dalam genggaman oleh individu-individu masa kini. Setiap waktu seseorang dapat berkomunikasi dengan siapapun melalui berbagai aplikasi yang sudah tersedia; bahkan seseorang dapat langsung menyampaikan kepada siapapun, termasuk kepada Presiden, melalui teknologi yang tersedia. Akan tetapi, kemajuan zaman tersebut tidak serta merta menghilangkan kekerasan dan perilaku menyimpang. Berbagai tayangan, tulisan dan juga pemberitaan sedikit banyak tentu memberikan pengaruh bagi peserta didik untuk berlaku kekerasan.