Oleh : Sinta Sri Ramdona
Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka
Akhir-akhir ini ramai dibicarakan tentang pick me syndrome, terutama di kalangan
para remaja. Pick me syndrome sendiri
merupakan perilaku di mana seseorang mempunyai keinginan kuat agar dapat
diterima di suatu kelompok sosial atau individu lain. Keinginan yang secara
tidak sadar membuat seseorang yang mengidap pick
me syndrome, rela melakukan segala cara untuk bisa masuk ke dalam kelompok
itu dan mempertahankan posisinya. Biasanya mereka yang pick me syndrome, berusaha menonjolkan sesuatu yang berbeda dari orang-orang
untuk menarik perhatian. Hal inilah yang seolah menunjukkan bahwa dirinya tidak
sama seperti mayoritas pada umumnya.
Dampak dari pick me syndrome dapat terjadi secara signifikan, terutama pada
sikap dan perilaku orang tersebut saat berinteraksi terhadap orang lain.
Umumnya mereka bisa menyombongkan diri tentang gaya hidup, hobi, minat, bakat,
dan tingkah laku. Itu semua dilakukan demi menarik atensi-atensi orang di
sekitarnya. Perilaku ini tidak hanya terjadi pada kaum hawa seperti yang banyak
diperbincangkan di media sosial, tetapi laki-laki pun dapat mengalaminya.
Dengan kata lain, fenomena tersebut dapat terjadi pada siapapun dan tidak
terbatas pada jenis kelamin.
Penyebab utama seseorang mengalami pick me syndrome, biasanya timbul karena
rasa penolakan terhadap standar yang ditetapkan oleh orang kebanyakan(society). Insecurity
atau rasa tidak percaya diri yang kuatlah, membuat mereka menjauhkan diri dari
stereotip yang berlaku. Hal tersebut juga bisa didasari oleh perilaku kebencian
terhadap sesama maupun penyebab-penyebab lain, seperti ingin menonjolkan
kelebihan untuk menutupi kekurangan yang ada pada dirinya, mencari atensi society sebagai bentuk pengakuan atau
validalitas. Selain itu, trauma atau ketakutan berlebihan karena kejadian-kejadian
di masa lampau juga dapat menjadi faktor penyebab pick me syndrome ini muncul. Misalnya seperti pada pola didik orang
tuanya dulu, saat dirinya dalam masa pertumbuhan di usia anak-anak hingga
remaja.
Pada masa pertumbuhan, seorang anak akan merekam
apa saja yang dialaminya. Mulai dari hal yang membuatnya tertawa, maupun
hal-hal yang membuatnya sedih atau ketakutan. Contoh pola didik orang tua yang
menjadi penyebab kasus pick me syndrome
ini diantaranya, tidak pernah mengapresiasi pencapaian anak, sehingga anak-anak
cenderung mencari apresiasi dan validalitas dari orang lain. Lalu jarang atau
bahkan tidak pernah mendengarkan pendapat anak, dampaknya membuat anak tersebut
kehilangan kepercayaan diri sendiri dan takut mengekspresikan emosinya. Bisa
juga karena orang tua yang terlalu sibuk bekerja, lantas membuat anaknya kurang
mendapat perhatian dan kasih sayang. Pada bagian ini memang bukan sepenuhnya
salah orang tua, tetapi sebagai figur utama dalam hidup seorang anak, orang tua
patut mempertanggungjawabkan apa yang terjadi pada perilaku anaknya sendiri.
Pada kenyatannya sadar atau tidak, setiap
orang penah mengalami pick me syndrome
ini karena dalam diri kita tentu sesalu ada perasaan ingin diterima. Untuk
mengatasi seseorang yang berprilaku tersebut, ada baiknya kita mengajak orang
itu untuk mengontrol emosi dan memperbaiki lingkungan sosialnya. Bagaimanapun pick me syndrome merupakan masalah
psikis yang sebagian besar disebabkan oleh insecurity.
Jadi, orang-orang yang mengalami sebenarnya adalah korban juga. Karena itu,
sebagai manusia kita harus membantu untuk memanusiakan sesama. Jika memang
tidak sanggup mengatasi hal tersebut sendirian, kita bisa konsultasi dengan
orang yang memang lebih paham dan dapat dipercaya, agar tindakan yang kita
ambil tidak gegabah atau menyakiti orang lain terlebih si pengidap pick me syndrome itu sendiri.