KabarPendidikan.id - Saat ini Railfans (Komunitas pecinta kereta api) dihebohkan dengan kejadian tragis yang terjadi di rel kereta api kawasan Senen, Jakarta Pusat, Sabtu (8/7) lalu.
Kejadian itu dilihat langsung oleh anak-anak pecinta kereta api
yang memang sedang menunggu kereta api melintas untuk diabadikan melalui kamera
gawainya. Bahkan, kasus tragis ini secara tak sengaja direkam langsung oleh
anak-anak tersebut.
Pada awalnya, beberapa anak-anak tengah mengabadikan sebuah kereta
yang akan melintas. Di saat sedang asik merekam, tiba-tiba seorang pria datang
menghampiri rel perlintasan kereta dan langsung berbaring di rel tersebut.
Anak-anak tersebut pun langsung kabur menjauhi lokasi karena takut melihat
peristiwa itu.
Kabar tersebut langsung terekspose dan tersebar luas di sosial
media sehingga menjadi perhatian netizen. Banyak netizen yang risau akan efek
yang akan terjadi pada anak-anak tersebut. Secara tidak langsung anak-anak ini
menjadi saksi mata bunuh diri tersebut.
Dosen Psikologi Universitas Muhammadiyah Prof DR HAMKA (Uhamka),
Anissa Rizky Andriany, M.Psi., Psikolog,
mengungkapkan kekhawatirannya atas apa yang terjadi pada anak-anak
tersebut. Menurutnya, kejadian itu dapat menyebabkan rasa trauma pada anak-anak
yang merekam kejadian itu. Trauma merupakan respon tubuh ketika dihadapkan pada
peristiwa yang membahayakan kondisi fisik maupun mental seseorang, seperti
kecelakaan, pelecehan, atau kekerasan. Trauma bisa saja disebabkan oleh
pengalaman yang dialami oleh diri sendiri ataupun orang lain.
“Meskipun trauma adalah kondisi yang umum terjadi dan bisa dialami
oleh siapa saja, kejadian ini tentu dapat menjadi pengalaman buruk yang dialami
oleh anak-anak yang merekam kejadian percobaan bunuh diri ini. Bukan tidak
mungkin, kejadian ini menyebabkan rasa trauma yang berkepanjangan. Percobaan
bunuh diri ini begitu mendadak dan tragis. Anak-anak ini tidak siap terhadap
peristiwa tragis seperti ini,” ujar Nissa.
Nissa menjelaskan bahwa anak-anak tersebut membutuhkan penanganan
yang tepat agar tidak menimbulkan efek berkepanjangan yang dapat mengganggu
kualitas hidup mereka kelak. Namun, penanganan ini harus sesuai dengan
kepribadian dan kondisi psikologis anak. Ia pun mengharapkan anak-anak ini
dapat dibantu dan didampingi oleh orang yang profesional di bidangnya.
“Pada anak, penanganan trauma tentu memiliki cara yang berbeda. Si
anak harus ditemani atau dibantu oleh orang lain. Orang tua pun berperan untuk
mendampingi si anak agar dapat mengendalikan emosinya ketika mengingat memori
buruknya. Perlu diingat bahwa mengatasi trauma pada anak tidak bisa dilakukan
secara instan, melainkan harus terukur, perlahan, serta selalu melihat respons
dan penerimaan anak. Penanganan profesional pun harus terus dilakukan agar
trauma itu hilang dengan seiring waktu,” pungkasnya.