KabarPendidikan.id - Pendidikan seharusnya menjadi lingkungan yang kondusif untuk menggabungkan permainan dan pembelajaran, memfasilitasi transformasi pengetahuan, kematangan, dan penanaman nilai toleransi. Fakta bahwa generasi muda semakin cenderung intoleran dan segregatif tidak bisa dipisahkan dari peran pendidikan di dunia ini.
Perayaan
Hari Pendidikan Nasional pada tanggal 2 Mei lalu telah memotivasi para penggiat
pendidikan dan para pemangku kepentingan yang terkait untuk menciptakan sebuah
lingkungan pendidikan yang bebas dari intoleransi. Hal ini sangat penting
karena intoleransi yang terus dibiarkan akan menyebabkan munculnya sikap
ekstrem yang dapat berujung pada kekerasan dan mengancam keutuhan bangsa.
Didin
Syafruddin, seorang peneliti senior di Pusat Pengkajian dan Masyarakat Islam
(PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, menyatakan bahwa kurangnya interaksi
dan dialog antara siswa dari beragam latar belakang adalah penyebab utama
meningkatnya intoleransi di dunia pendidikan. Dampaknya, siswa yang memiliki
perbedaan mungkin memiliki prasangka negatif dan merasa tidak nyaman dalam
menghadapi perbedaan.
"Lembaga pendidikan harus menjadi teladan dalam mempraktikkan pendidikan kemanusiaan dan budi pekerti. Pendidikan kemanusiaan yang efektif dalam mengubah perilaku ialah dengan menjadikan lembaga pendidikan itu sendiri sebagai teladan mempraktikkan pendidikan kemanusiaan," ujar Didin.
Didin
menekankan bahwa tidak hanya di dalam kelas, namun juga di setiap aspek
lingkungan sekolah seperti kepala sekolah, guru, petugas keamanan, petugas
kebersihan, dan petugas kantin, baik laki-laki maupun perempuan, harus saling
menghormati satu sama lain. Semua orang harus diperlakukan secara setara dan
adil, tanpa memandang agama, suku, status ekonomi, warna kulit, atau faktor
lainnya. Selain itu, siswa harus didorong untuk memiliki pemikiran yang kritis
dan mempraktikkan demokrasi.
"Pendidikan
budi pekerti masih kurang karena pelaksanaannya masih melalui ceramah atau
pengajaran. Padahal pendidikan budi pekerti memerlukan diskusi dan dialog
terbuka kritis, pembiasaan, keteladanan, dan konsensus bersama melalui proses
demokratis," kata Didin.
Kasus
AP Hasanuddin (APH), seorang peneliti yang diduga melakukan ujaran kebencian
terhadap warga Muhammadiyah, menunjukkan bahwa pendidikan formal tidak menjamin
bahwa seseorang akan memiliki pemahaman yang baik tentang keragaman intra dan
antar agama. APH mungkin terkenal sebagai akademisi yang memiliki literasi dan
kecerdasan yang baik, namun ia memiliki pemikiran yang intoleran dan cenderung kekerasan.
Oleh karena itu, perlu ada koordinasi antara berbagai disiplin ilmu, pendidikan
moral dan nasionalisme untuk memperkuat rasa persatuan di antara anak bangsa.
"Kasus
APH mengingatkan bahwa lembaga pendidikan harus menanamkan sikap ilmiah, sikap
rasional, sikap objektif sehingga dalam berpendapat dan bersikap selalu
berlandaskan data yang kuat dan mengurangi prasangka dalam menilai kelompok
agama atau pihak pihak lain," ujar Didin.
Menurut
seorang dosen dari Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, pemerintah perlu mendorong lembaga pendidikan yang homogen untuk
berinteraksi, bertemu, dan bergaul dengan kelompok yang berbeda.
Didin
berharap bahwa pendidikan dapat menjadi lembaga yang sangat penting dalam
membentuk peserta didik menjadi manusia dan warga masyarakat yang
memprioritaskan nilai-nilai universal kebaikan yang didasarkan pada
kemanusiaan.
"Penting
terus menerus menekankan bahwa Indonesia bukan negara NU, bukan negara
Muhammadiyah, bukan negara salafi dan bukan negara berdasar paham agama
lainnya. Lembaga (pendidikan) harus mempraktikkan dan menegaskan bahwa
Indonesia adalah negara yang bersendikan kemuliaan setiap orang atau setiap
warga negara," tutup Didin.
(Umar
Syaid/adp)