KabarPendidikan.id - Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) yang diperingati setiap tanggal 2 Mei mengingatkan Indonesia untuk menyelenggarakan pendidikan yang lebih berkualitas dan inklusif. Pendidikan harus menjadi perhatian semua anak, tanpa memandang asal suku, ras dan agama.
Hal
ini dikemukakan oleh praktisi dan pemerhati pendidikan anak, Prof. Seto Mulyadi
atau biasa dikenal Kak Seto. Ia menyoroti praktik-praktik diskriminatif dan
intoleran di sekolah, seperti mengharuskan seluruh siswi mengenakan pakaian
tertentu tanpa memandang agama.
"Sebenarnya
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah
mengatur itu semua, bahwa pendidikan anak Indonesia itu membentuk karakter
pelajar yang sejalan dengan Pancasila. Merupakan tugas dari Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk menegaskan hal ini," kata
Kak Seto.
Sekjen
Komisi Perlindungan Anak (Komnas PA) mengatakan Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan merumuskan lima hal yang harus dilaksanakan selama penyelenggaraan
pendidikan. Pertama, etika atau moral yang sering kali diremehkan. Kedua,
Estetika, yaitu keindahan, ketertiban atau bisa juga dalam hal kesenian.
Ketiga,
iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi) yang seringkali hanya ini yang terlalu
ditekankan. Efek negatif dari terlalu banyak penekanan pada ilmu pengetahuan
dan teknologi adalah anak-anak menjadi stres. Ketika seorang anak stres, itu
dapat menyebabkan perkelahian, intimidasi atau kekerasan.
"Keempat
adalah nasionalisme. Hal Ini juga terkadang kurang ditampilkan dan ditekankan,
bahwa kita berbeda itu dalam sebuah kerangka Bhinneka Tunggal Ika, harus bisa
saling bekerja sama," tutur Kak Seto.
Kelima,
kesehatan. Menurut Kak Seto, selain fisik, terkadang mental terabaikan.
"Kesehatan mental itu dijaga dengan tidak saling menghujat, menghina,
mem-bully, melanggar norma adat istiadat ataupun agama. Jika kesehatan
mentalnya terjaga, maka anak akan tidak mudah baper (bawa perasaan) dan
marah," katanya.
Kak
Seto menjelaskan bahwa pengertian pendidikan menurut Undang-Undang Pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan lingkungan belajar dimana
peserta didik dapat mengeluarkan potensinya dengan sebaik-baiknya. Oleh karena
itu, pendidikan harus mengeluarkan potensi dari dalam, bukan memberikannya dari
atas. Bukan sekedar hafalan, indoktrinasi, perintah dan sebagainya sehingga
anak sering diperlakukan sebagai objek bukan subjek.
Ia
mencontohkan, ada lima Rudy yang hebat. Mereka adalah Rudy Habibie, panggilan
akrab Presiden ketiga Republik Indonesia, Bacharuddin Jusuf (BJ) Habibie; Rudi
Hartono, juara bulu tangkis internasional; Rudy Hadisuwarno, pandai memotong
rambut; Rudi Salam, aktor; dan Rudy Choirudin yang jago memasak.
"Semua
orang harus memunculkan potensi dari dalam dirinya. Tidak semua orang harus
jadi lawyer, dokter, atau insinyur. Hal ini yang harus dibangun dalam kerangka
pendidikan. Prinsip untuk memunculkan kekuatan dari dalam peserta didik dan
bukan sekadar ibarat mengisi air ke dalam gelas yang kosong," katanya.
Ketua
Umum Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif Indonesia (ASAH PENA) itu
berharap pemerintah dan mekanismenya tetap bertahan dalam memberantas
praktik-praktik intoleransi dan membela hak asasi manusia dan anak. Menurutnya,
pemerintah daerah bertanggung jawab untuk melaksanakan peraturan tersebut
sesuai dengan tingkatannya. Mulai dari Kepala Dinas Pendidikan di wilayah itu
hingga ke Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah bagi SD, SMP, dan
SMA, serta Direktur Jenderal Perguruan Tinggi bagi universitas.
"Jadi
ini juga harus ada ketegasan dari aparat atau pejabat yang membawahi pendidikan
tersebut supaya diingatkan dan dikampanyekan kembali. Bahkan sekarang juga
dikampanyekan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
tentang sekolah yang ramah anak," katanya.
(Nanda/adp)