“Tahun yang penuh dinamika sih emang,” kata Yolanda, eks Pemimpin Redaksi Lintas kepada tim kolaborasi Tirto dan Deduktif,
Sejak Maret 2022, Lembaga Pers Mahasiswa Lintas yang berada di bawah naungan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon mulai menarik perhatian publik. Mereka memunculkan perhatian dengan mengangkat isu kekerasan seksual yang terjadi di dalam lingkungan kampus mereka.
Selama sekitar lima bulan, awak Lintas telah menyelesaikan liputan yang berjudul "IAIN Ambon Rawan Pelecehan". Liputan ini disusun setelah melakukan wawancara dengan banyak narasumber dan menyelidiki kasus-kasus kekerasan yang terjadi di IAIN Ambon selama periode 2015-2021. Hasil dari penyelidikan mereka menunjukkan adanya berbagai kasus dan dugaan pelaku, yang melibatkan mahasiswa, staf pengajar, pegawai kampus, dan alumni.
Liputan yang diterbitkan menyebabkan masalah bagi Lembaga Pers Mahasiswa Lintas. Sekretariat mereka dirusak oleh seseorang yang diduga terlibat dalam kasus kekerasan seksual. Beberapa anggota tim Lintas juga mengalami serangan fisik. Akibatnya, kepengurusan Lintas dihentikan oleh pihak kampus. Bahkan beberapa anggota Lintas mengalami kesulitan dalam menyelesaikan studi akhir mereka.
Pihak kampus juga melaporkan tim redaksi Lintas ke polisi. Laporan tersebut dianggap oleh kampus sebagai upaya untuk mengklarifikasi publikasi Lintas.
Pada akhir tahun, Lembaga Pers Mahasiswa Lintas mencoba menggugat keputusan pembekuan kepengurusan yang dilakukan oleh kampus ke pengadilan. Namun, gugatan tersebut dibatalkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Ambon.
“Tahun 2022 ini tahun yang banyak pelajaran, banyak pengalaman yang baru buat aku sendiri, dan mungkin buat Lintas sendiri, dan buat persma juga,” kata Yolanda. “Karena dari sini, dari masalah Lintas ini kita bisa dapat gambaran bahwa pers mahasiswa ini masih rentan banget dapat intimidasi,” tambah Yolanda.
Tidak hanya Lintas, Lembaga Pers Mahasiswa Dinamika yang berada di bawah naungan Universitas Islam Negeri Sumatera Utara (UINSU) Medan, Deli Serdang, Sumatera Utara juga mengalami penindasan pada tahun 2022.
Pada bulan September 2022, sekretariat Dinamika dibobol oleh orang yang tidak dikenal. Barang-barang di dalam sekretariat dirusak dan diacak-acak, namun tidak ada yang hilang.
Hal ini terjadi tidak lama setelah Dinamika menerbitkan laporan tentang dugaan pungutan liar dalam acara Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan (PBAK). Dalam laporan tersebut, Dinamika mencurigai adanya keterlibatan mahasiswa dalam pungutan liar tersebut.
Peserta PBAK diminta oleh senior mereka untuk membeli selempang dari karton dan pin seharga Rp50 ribu. Para senior menjanjikan konsumsi dari uang tersebut, namun peserta PBAK tidak pernah menerima konsumsi tersebut.
Deddy menyatakan bahwa ia menganggap pembobolan tersebut sebagai bentuk teror dari pihak yang tidak menyukai pemberitaan yang mereka lakukan.
“Itu bentuk aksi teror yang itu jelas bisa mengganggu kenyamanan kami dalam menjalankan mobilitas organisasi,” ujar Deddy.
Kasus-kasus represi pers kampus semakin bertambah dengan masalah yang dihadapi oleh Lintas dan Dinamika.
Dewan Pers berusaha menangani masalah kasus represi pers mahasiswa yang semakin meningkat. Pada awal November tahun lalu, mereka mengadakan diskusi dengan perwakilan persma di Bogor. Diskusi ini dihadiri oleh beberapa perwakilan persma baik yang mengikuti secara langsung maupun daring, guna mengumpulkan masalah yang kerap dihadapi mahasiswa saat membuat karya jurnalistik di kampus.
Arif Zulkifli, Ketua Komisi Hukum Dewan Pers, menekankan bahwa perlindungan terhadap pers mahasiswa semakin krusial karena jumlah kasus semakin bertambah. Salah satu kasus terbaru yang menimpa persma Lintas, IAIN Ambon, disebabkan oleh liputan mereka mengenai kasus pelecehan seksual di kampus tersebut. Dampaknya, Pemred Lintas tidak diizinkan membimbing skripsi oleh pihak kampus.
Arif Zulkifli, Ketua Komisi Hukum Dewan Pers, menyatakan bahwa perlindungan terhadap pers mahasiswa semakin penting karena jumlah kasus represi terhadap persma semakin meningkat. Kasus terbaru yang menimpa Lintas, IAIN Ambon terjadi karena pemberitaan mengenai kasus pelecehan seksual di kampus tersebut. Akibatnya, Pemred Lintas tidak diizinkan untuk menjalankan bimbingan skripsi oleh pihak kampus. Menurut Arif, perlindungan terhadap persma penting karena dua hal. Pertama, pers mahasiswa merupakan tempat di mana para calon jurnalis dapat diasah dan belajar. Kedua, 50-60 persen wartawan nasional berasal dari pers mahasiswa. Oleh karena itu, diperlukan aturan yang melindungi pers mahasiswa.
Dewan Pers menyadari bahwa saat ini Undang-Undang No 40 tahun 1999 belum mencakup perlindungan terhadap persma meskipun mereka mengikuti kaidah dan kode etik jurnalistik. Karena minimnya aturan yang melindungi persma, Dewan Pers mencari solusi alternatif seperti menjalin kerjasama dengan pihak kampus atau kementerian terkait.
"Dewan Pers (berencana) menjalin memorandum of understanding (MoU) dengan kampus atau lembaga yang menaungi kampus agar mereka bersedia melindungi kemerdekaan pers. Mereka sedang belajar dan mereka adalah pemasok wartawan nasional. Jadi itu cita-cita besarnya," kata Arif kepada tim kolaborasi Tirto dan Deduktif.
Dewan Pers sedang mengumpulkan masalah yang menimpa persma dan menjalin kerjasama dengan lembaga yang menaungi kampus seperti Kemenristek, Kementerian Agama, dan Kementerian Keuangan. Mereka mengumpulkan konstituen Dewan Pers pada bulan Desember lalu, termasuk Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), dan lainnya, untuk memberikan masukan terkait perlindungan persma.
Dewan Pers berencana untuk menyusun nota kesepahaman dengan para pihak terkait di kementerian setelah mengumpulkan masukan dari persma dan konstituen Dewan Pers pada bulan Desember tahun lalu. Target Dewan Pers adalah menyelesaikan nota kesepahaman ini pada tahun 2023, dan mereka berharap tidak ada keterlambatan dalam proses tersebut karena adanya tahun politik. Lembaga yang menaungi kampus, termasuk Kemenristek, Kementerian Agama dan Kementerian Keuangan, akan terlibat dalam proses ini.
"Ya mudah-mudahan sih, pelan-pelan 2023 lah saya bayangin ya rampungkan. Tahun depan udah urusan pemilu," ucapnya.
Yolanda menyambut positif rencana Dewan Pers untuk memberikan perlindungan pada pers mahasiswa. Menurutnya, pada tahun 2022, pers mahasiswa masih sangat rentan terhadap intimidasi, kriminalisasi, bahkan sampai pemberhentian studi mahasiswa oleh pihak kampus. Ia menambahkan bahwa dalam kasus pemberhentian mahasiswa, keputusan tersebut biasanya diambil sepihak oleh pihak kampus.
Yolanda menyatakan bahwa sejak kasus Persma Lintas terjadi, ia melihat Dewan Pers berupaya untuk melindungi pers mahasiswa dengan berbagai cara, termasuk merumuskan nota kesepahaman dengan kementerian terkait.
"Dewan Pers juga mau buat perlindungan terhadap Persma. Nah aku pikir di tahun 2022 ini memang titik puncaknya semua orang sudah harus mikirin bagaimana cari perlindungan buat pers mahasiswa," tutup Yolanda.
(Umar Syaid/dyl)