Oleh: Ibnu Atta’illah
Mahasiswa FEB Uhamka
Musik metal merupakan salah satu genre musik yang diadopsi dari budaya Barat, musik metal dan nilai-nilainya telah diterima oleh generasi muda di Indonesia. Namun sayangnya, musik metal diasosiasikan dengan berbagai bentuk stigma dan stereotip negatif sebagian besar orang, seperti musik yang tidak wajar dan menjadi penyebab dari semua perilaku negatif di kalangan anak muda, tidak terkecuali Indonesia.
Kita bisa melihat bahwa anggapan masyarakat tentang musik metal dan kekerasan tidak sejalan. Orang orang yang menyukai musik metal adalah orang biasa yang menyukai musik kompleks dan menggunakan musik keras sebagai sarana untuk menenangkan emosi, daripada kekerasan langsung di masyarakat. Musik yang mereka dengar berbicara tentang kekerasan dan agresi, tetapi itu tidak membenarkan atau mendorong mereka untuk menjadi seorang kriminal. Hal ini bertentangan dengan anggapan umum bahwa mendengarkan musik metal dapat mempengaruhi seorang untuk menjadi penjahat, pemuja setan, atau pembunuh.
Asosiasi terhadap kemarahan, agresi dan tindak kekerasan menjadi asal-muasal stigma penggemar musik metal di masyarakat. Tidak tanggung-tanggung, asosiasi dan stigma ini menorehkan sejarah kepanikan moral yang terjadi pada industri musik di Amerika Serikat pada tahun 1985. Kelompok konservatif itu kemudian mendirikan Parents Music Resource Center (PMRC) pada April 1985 yang dengan getol melakukan sensor pada musik-musik yang mengandung unsur kekerasan seperti rock, metal dan rap. Moral panik ini berasumsi bahwa anak muda yang mendengarkan musik keras dan lirik lagu bertema kekerasan akan cenderung melakukan kekerasan.
Musik metal sangat dipengaruhi oleh aksi panggung para band-band besar dan lirik-lirik yang mereka sajikan. Asumsi kebanyakan orang tentang metalhead sebagai pemuja setan, kriminal dan penuh kekerasan tidak bisa dilepaskan oleh pengaruh Ozzy Osbourne sebagai salah satu ikon musik metal dengan bandnya Black Sabbath. Penampilan panggung Ozzy Osbourne pada 20 Januari 1982 ketika ia menggigit kepala kelelawar sampai putus menjadi justifikasi kekerasan dan sadisme dalam budaya metal.
Lirik yang kadang bertema sadisme, saling membentur-benturkan badan dan musik yang kompleks selalu membuat metal sebagai subkultur yang disalahpahami. Ada dua hal yang alamiah dalam keberadaan manusia yakni emosi dan kecenderungan asosiasi. Dentuman drum yang cepat, nada gitar yang tinggi dan cepat serta suara manusia sebagai instrumen, alih-alih sebagai nyanyian membuat musik metal diasosiasikan dengan emosi marah. Sementara emosi marah selalu dilihat sebagai emosi negatif yang memancing dan menjustifikasi seseorang melakukan agresi. Padahal emosi dan tindakan adalah dua hal yang berbeda. Seseorang bisa mengalami suatu emosi, sedih misalnya tetapi tidak menangis atau seseorang bisa menjadi marah tanpa melakukan kekerasan.