KabarPendidikan.id - Rita Pranawati dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Muhammadiyah Prof DR HAMKA (Uhamka) sekaligus Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) periode 2014-2022 dan Bendahara Pimpinan Pusat Aisyiyah menjadi narasumber dalam acara teras tvMu dengan tema Peran Kampus dalam Perlindungan Anak yang tayang di Channel tvMu Channel dan website tvmu.tv, Sabtu (18/3).
Sebelumnya pada acara ini Rita mengatakan bahwa cakupan usia
anak yang masuk ke dalam lingkup pengaduan anak ialah usia 0-18 tahun sesuai
dalam undang-undang perlindungan anak. Ia juga mengatakan, secara nasional KPAI
memiliki konvensi hak anak. Konvensi hak anak ini mengatur dua hal besar yaitu
pemenuhan hak anak dan perlindungan khusus.
“Pemenuhan hak anak ini memiliki empat cluster diantaranya
hak sipil dan kebebasan dengan contoh anak berhak memiliki akta lahir dan Nomor
Induk Kependudukan (NIK). Cluster kedua ialah keluarga dan asuhan alternative
dengan contoh orang tua yang bercerai. Cluster ketiga ialah terkait dengan
pendidikan dan pemanfaatan waktu luang dan cluster keempat ialah kesehatan dan
kesejahteraan. Sedangkan konvensi perlindungan khusus secara mudahnya kalau ada
kasus-kasus seperti kekerasan fisik, kekerasan seksual, trafficking atau perdagangan anak, kekerasan digital, anak yang
menjadi korban pornografi dan lainnya,” tutur Rita.
Rita menambahkan, jika ada pelaporan kasus anak yang
dititipkan di sekolah yang dinasehati dan dididik oleh guru maka ini harus
dipahami melalui komunikasi kedua belah pihak yaitu orang tua dan guru. Dalam
hal ini maka sejak awal harus adanya komitmen antara orang tua dan guru untuk
saling komunikasi, karena jika ada suatu masalah pada anak tersebut maka
kondisinya dapat diperbaiki bersama.
“Sebelumnya kita harus paham prinsip tegas dan keras itu
berbeda. Kalau keras itu di dalamnya terdapat emosi dan mungkin bisa melukai,
sedangkan sikap tegas itu untuk mengedukasi. Dalam mendidik itu membutuhkan
proses panjang bukan hasil semata, maka di dalam proses tersebut wajar jika
terdapat masalah dan harus disikapi sesuai dengan tumbuh kembang anak.
Mendisiplinkan itu sejatinya untuk membangun kesadaran bukan untuk memberikan
efek jera atau bahkan takut. Sebagai guru seharusnya dalam mendisiplinkan dan mendidik generasi
bangsa agar mempunyai sikap yang baik dengan berdialog.
Rita mengkaitkannya dengan sekolah ramah anak, bahwa
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA) sudah banyak
memiliki sekolah ramah anak. Sekolah ramah anak dimulai dari sarana prasarana
yang ramah anak. Kemudian didukung oleh Sumber Daya Manusia (SDM) yang
mempunyai prespektif mendidik dengan proses termasuk memahami hak anak dan usia
tumbuh kembang anak. Selanjutnya Rita mengatakan di dalam Undang-undang Sistem
Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) mengatur anak sebagai pelaku maupun sebagai
saksi. Jika anak menjadi pelaku, tentu kasusnya menggunakan UU SPPA karena
tidak sama dengan pidana orang dewasa. Hal yang menyebabkan anak menjadi pelaku
karena situasi lingkungan yang tidak tepat sehingga melakukan hal kejahatan.
Sehingga prinsip dari SPPA ini adalah Restorative
Justice yang memulihkan anak kepada kondisi semula.
“Institusi perguruan tinggi ini memiliki peran penting di
dalam perlindungan anak seperti Uhamka. Uhamka memiliki catur dharma perguruan
tinggi diantaranya pendidikan,
penelitian dosen, pengabdian masyarakat, dan Kemuhammadiyahan yang pada
tiap aspeknya dapat berperan untuk perlindungan anak. Seperti pada Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) yang kelak menjadi calon guru, maka harus
memahami prinsip perlindungan anak, bagaimana memperlakukan anak, dan bagaimana
usia tumbuh kembang anak. Selain FKIP Uhamka yang bersentuhan langsung dengan
anak, ada fakultas lainnya seperti Fakultas Psikologi yang harus memahami betul
perkembangan psikologi anak. Dan jika menemukan kasus di lingkungan kampus,
maka kita bisa menjadi pelopor dan pelapor dangan langsung menghubungi KPAI
melalui sosial media yang tertera,” tutup Rita.