KabarPendidikan.id - Setiap
tahunnya, bulan Maret memiliki makna penting bagi komunitas film Indonesia,
karena pada bulan ini diperingati Hari Film Nasional.
Peringatan
tersebut tidak hanya sekadar merayakannya dengan acara-acara tertentu,
melainkan juga mengadakan evaluasi, berbagi informasi, dan menciptakan standar
bersama demi meningkatkan kemajuan perfilman Indonesia.
Sehubungan
dengan hal tersebut, pada tanggal 6 Maret 2023, BPI (Badan Perfilman Indonesia)
menyelenggarakan seminar Hybrid yang dihadiri oleh berbagai dosen dari
perguruan tinggi yang memiliki program studi atau fakultas film.
Tema
yang dibahas dalam seminar tersebut adalah "Kebijakan dan Standar Nasional
Pendidikan Tinggi Film", dan diisi oleh sejumlah praktisi dan akademisi
pendidikan film, termasuk Gerzon R. Ayawaila, yang merupakan Ketua Perkumpulan
Program Studi Film dan Televisi Indonesia (PROSFISI).
Menurut
penuturan Gerzon R. Ayawaila, terdapat 21 universitas yang terkait dengan Film
dan Televisi di Indonesia. Berdasarkan data yang dimiliki oleh PROSFISI,
sebagian besar universitas tersebut merupakan perguruan tinggi negeri.
"Untuk
setara S1 dan D4 didominasi oleh perguruan tinggi negeri sedangkan untuk
broadcasting peminatan didominasi oleh perguruan tinggi swasta," ungkap
Gerzon.
Gerzon
R. Ayawaila mengungkapkan bahwa PROSFISI memiliki program-program yang
bertujuan untuk mendukung pembelajaran film yang optimal, salah satunya adalah
dengan mewajibkan sebagian dosen untuk menjadi asesor kompetensi film. Hal ini
bertujuan agar mahasiswa tidak hanya memahami pembelajaran terkait film, tetapi
juga dapat mengenal dunia industri film secara lebih mendalam.
"Alhamdulilah
beberapa dari perguruan tinggi memiliki dosen sekaligus asesor kompetensi,
dimana hal ini sangat membantu kami," tuturnya.
Pada
akhir presentasinya mengenai profil perfilman nasional, Gerzon menyebutkan bahwa
setiap perguruan tinggi yang terkait dengan bidang perfilman memiliki tantangan
dan masalah masing-masing. Namun, yang paling umum adalah kurangnya spesifikasi
pada ranah seni dan humaniora.
Menurut
Naswan, selaku moderator dalam diskusi tersebut, mata kuliah dalam program
studi film akan menjadi lebih menarik jika ditambahkan dengan beberapa elemen
lain. Ia berpendapat bahwa program studi ini memiliki daya tarik yang cukup
besar.
"Program
studi film ini sangat unik, karena ketika berbicara tentang film maka kita juga
berbicara tentang IPTEK dan kesenian," ujar Naswan.
Berdasarkan
data yang dihimpun oleh PROSFISI, sebaran program studi film dan televisi
terbanyak terdapat di wilayah Jakarta dan Jawa Barat, diikuti oleh Jawa Tengah.
Sedangkan, jumlah program studi tersebut di Bali tergolong sedikit.
(Umar
Syaid/SAN)