KabarPendidikan.id - Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Prof DR HAMKA (FISIP Uhamka), Nurlina Rahman menjadi narasumber dalam kegiatan Pelatihan Peningkatan Kemampuan TPTKP Fungsi Samapta POLRI tahun anggaran 2023 dengan tema Melalui Pelatihan Peningkatan Kemampuan TPTKP T.A. 2023 Kita Tingkatkan Kualitas SDM Samapta Polri yang Presisi dalam Rangka Menghadapi Pemilu Tahun 2024 yang digelar oleh Ditsamapta Korshabara Baharkam Polri. Kegiatan ini bertempat di Hotel Grand, Kemang Jakarta Selatan dan digelar selama 3 hari yakni 21-23 Februari 2023.
Kegiatan yang diikuti oleh 68 anggota Samapta Kewilayahan berpangkat Pama dan Brigadir tersebut dibuka resmi oleh Kakorsabhara Baharkam Polri Irjen Pol Priyo Widiyanto.
Nurlina Rahman selaku Wakil Dekan I FISIP Uhamka membawakan materi berjudul Rhetorica Public Speaking, menyebut bahwa public speaking adalah salah satu dari communication skill yang wajib dikuasai oleh berbagai profesi termasuk aparat kepolisian. Bentuknya bisa berupa pidato, sambutan, simulasi, orasi, sosialisasi, dan lainnya dalam tujuan yang lebih kontemporer.
“Public speaking bertujuan untuk membentuk kesan, meyakinkan, memperingatkan, memberi instruksi, menggerakkan massa selain tujuan umum yaitu memberi informasi, mempersuasi, menghibur, atau memperkuat hubungan,” tutur Nurlina.
Menurut Nurlina aparat dituntut untuk dapat melakukan komunikasi secara publik ataupun memiliki komunikasi secara kelompok dengan pendekatan persuasif atau disebut TPTKP atau Tindakan Pertama di Tempat Kejadian Perkara. Berhadapan dengan publik/massa mempunyai risiko munculnya jiwa massa. Jika satu orang berteriak serang misalnya, maka memungkin yang lain akan melakukan hal yang diserukan.
“Oleh karena itu sebagai seorang aparat dan sekaligus public speaker dan negosiator hendaknya mampu mengarahkan massa dengan memilih pendekatan komunikasi secara persuasive. Meski terkesan hanya sebagai keterampilan berkomunikasi, Nurlina menyebut tidak semua orang memiliki kemampuan dan keberanian untuk tampil di depan public sebagai public speaker. Kita menyebut sebagai glossophobia, yakni takut untuk berpidato (berbicara di depan publik),” jelas Nurlina.
Dari dialog dengan para peserta pelatihan, Nurlina menangkap bahwa permasalah demam panggung disebabkan karena ketidaksiapan materi, tidak percaya diri, tidak terbiasa bicara di depan orang banyak, tidak fokus, takut salah, dan merasa dilihat/dinilai orang banyak.
“Untuk menghilangkan perasaan takut/demam panggung saat berbicara di depan publik . Terdapat 4 aspek yang harus dipersiapkan seseorang sebelum tampil dimuka publik. Pertama adalah pemilihan topik. Bahwa topik pidato yang kita ambil harus disukai, familiar dan menarik minat khalayak. Kedua adalah penetapan umum tujuan. Seorang public speaker harus menetapkan tujuan dari kegiatannya tersebut. Misalnya persuasif, informatif, entertainment, atau tujuan lainnya. Ketiga, sebelum tampil di depan khalayak, seorang public speaker harus mengenali khalayak, apakah mereka memahami topik yang akan disampaikan, apakah topik tersebut relevan, mengetahui karakteristik demografi, dan psikografis khalayak. Keempat adalah mencari bahan atau materi. Bahan-bahan tersebut harus memperkuat presentasi misalnya data temuan riset, cerita, pengalaman, baik dalam bentuk power point slide, video atau bentuk lainnya,” lanjut Nurlina.
Nurlina menambahkan, hal penting lainnya pembicara tidak boleh melupakan untuk mengajak massa terlibat dengan materi, topik yang sedang dibicarakan/disampaikan, dari mulai membuka pembicaraan misal dengan melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan permasalahan yang dibicarakan. Pemilihan kata/kalimat yang benar dan menjadi hal yang harus diperhatikan oleh public speaker. Istilah komunikator sebagai penyampai pesan dan komunikan sebagai penerima pesan, dalam komunikasi tidak sekaku yang disandangkan bagi para pelaku. Public speaker selayaknya juga disandangkan bagi para penerima pesan yang pada saat yang lain menjadi komunikator, ketika perwakilan pengunjuk rasa menyampaikan aspirasinya, aparat juga mesti menjadi pendengar yang baik ketika proses ini terjadi. Sebagaimana dinyatakan oleh Guru besar Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran Prof Deddy Mulyana, yang menyebutkan bahwa salah satu kunci sukses komunikasi adalah banyak mendengarkan.
“Mengutip pendapat Kenneth Burke dalam Dramaturgical Theory, bahwa setiap bentuk-bentuk komunikasi adalah sebuah drama. Karenanya seorang pembicara hendaknya mampu mendramatisir keadaan khalayaknya. Ini artinya bahwa saat kita menjadi seorang pembicara maka aspek ekspresif menjadi bagian penting, baik menyangkut suara, penggunaan bahasa, gerak-gerik juga bahasa tubuh,” tegasnya.
Dalam kesempatan tersebut Nurlina juga menjelaskan dua prinsip penting dalam penyampaian pidato yakni bagaimana dapat tampil layaknya seorang professional saat menyampaikan pidato dan bagaimana mempertahankan perhatian pendengar. Semua itu tidak dapat diraih dengan cara instan, perlu ada latihan untuk mengembangkan kemampuan diri.
“Untuk terlihat sebagaimana seorang professional, kita harus menggunakan gaya percakapan, menjaga dan melatih kontak mata dengan pendengar. Penting juga menyiapkan catatan sekadar berjaga-jaga,” katanya.
Meski sudah mempersiapkan diri dengan baik, diakui Nurlina, acapkali seseorang terserang demam panggung atau gugup ketika akan tampil di muka publik. Untuk mengatasinya, beberapa hal bisa dilakukan oleh seorang public speaker seperti menguasai materi dengan baik, yakin dengan penampilan diri sendiri termasuk gaya busana, persiapkan diri sejak awal, disiplin dalam menjalankan tugas serta hindari lekas puas diri. Bagi Nurlina, peluru emas komunikasi adalah kemampuan untuk disukai khalayak atau pendengar. Agar disukai oleh khalayak atau pendengar, beberapa tips bisa dilakukan seorang public speaker yakni jika kita merasa terhormat bisa berpidato di hadapan pendengar, beri penghargaan bagi public yang menjadi pendengar, dan ungkapkanlah!, berikan penghargaan yang tulus kepada pendengar, jika memungkinkan, sebut nama beberapa hadirin, rendah hati jangan tinggi hati, sebut “kita”, bukan “Anda”, selalu terus diupayakan bicara dengan wajah yang ceria, hindari nada mencela dan tersenyumlah.
“ Ajaklah pendengar untuk terlibat dalam topik yang dibicarakan, missal dengan melontarkan pertanyaan pendengar. Selain itu, bicarakan hal-hal yang menarik bagi pendengar, nikmatilah apa yang kita sampaikan, sentuh emosi lembut hadirin, membuka diri bagi kritik dengan tidak mudah tersinggung, mengekspresikan, bukan mengesankan. Ekspresikan diri sejelas mungkin dan orang akan terkesan. Tapi jika kita mencoba mengesankan, kita tertimpa masalah. Itu yang sering terjadi,” tutup Nurlina.