KabarPendidikan.id - Kesetaraan disabilitas dalam pendidikan masih menjadi masalah yang harus diselesaikan. Nyatanya, masih ada beberapa penyandang disabilitas yang ditolak haknya untuk memperoleh pendidikan. Parahnya lagi, banyak penolakan di masyarakat.
Meski telah menempuh pendidikan formal, sebagian masyarakat masih menolak menampung penyandang disabilitas. Resya Taufiqurahman, dosen Pondok Disabilitas Masjid Madinah, Kabupaten Lowokwaru, mengatakan masih banyak difabel yang tidak berkesempatan untuk belajar. Terutama dalam pelajaran agama. Penyandang disabilitas seringkali tidak diterima karena pembatasan.
“Banyak murid saya yang ditolak karena hanya ingin belajar Al Quran dan tidak sempat mencoba. Penyandang disabilitas masih dipandang sebagai orang yang perlu dipahami karena tidak berdaya," kata Resya.
Kendala lain adalah minimnya tempat belajar Al-Qur'an di kota Malang, khususnya bagi difabel. Akibatnya, penyandang disabilitas yang ingin belajar harus dibatasi secara spasial. Belum lagi, menurut Resya, jumlah guru yang memberikan materi sangat terbatas.
Resya hanya menginginkan metode pengajaran khusus untuk difabel dan pembantu. Ia juga mengatakan bahwa penyandang disabilitas tidak mengaku bisa, mereka hanya berharap bisa diterima di perguruan tinggi. Namun, banyak dari murid-muridnya dapat membuktikan banyak prestasi yang diraihnya. “Keberhasilan anak didik saya Fahira dan Alfa dalam menghafal dan mengaji menjadi bukti bahwa difabel juga bisa,” ujarnya.
Hal senada diungkapkan Alma Dewi Khasanah selaku Direktur SLB-B Yayasan Pendidikan Tunas Bangsa (YPTB). Dia mengatakan tantangan terbesar bagi anak-anak cacat adalah pola pikir mereka. Terutama ketika berhadapan dengan stigma sosial. Cara berpikir mereka berbeda dengan anak-anak pada umumnya, sehingga diperlukan dukungan untuk memperdalam cara berpikir mereka. “Masalahnya, sekolah masih belum bisa menyewa psikolog karena memang butuh lebih banyak,” jelasnya.
DYL_RPH