“Filosofi yang disampaikan Mendikbud sejak awal adalah gotong royong. Pemerintah bukan satu-satunya yang paling tahu seperti apa pendidikan seharusnya, pemerintah bukan satu-satunya yang paling bisa mengimplementasikan perubahan dengan baik,” ujarnya.
Dirinya berpendapat di Indonesia ada banyak pemangku kepentingan yang bergerak sendiri melakukan perubahan termasuk di dunia pendidikan dengan idealisme masing-masing.
“Saya merasakan idealisme yang sangat kuat. Saya melihat perempuan dan laki-laki bergerak dengan baik meski dalam kondisi terbatas, dan kondisi yang ditemui berbeda-beda tergantung dinamika daerah masing-masing," ujarnya. Karena itu, kata dia, pemerintah ingin menggandeng para pemangku kepentingan tersebut untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
“Banyak organisasi telah merangkul gerakan tersebut dan menunjukkan bahwa kita dapat mengubah bagaimana kita dapat meningkatkan literasi dan numerasi serta karakter. Kemudian kita bersatu sebagai satu kekuatan, satu filosofi gotong royong,” ujarnya.
Ia melanjutkan, pemerintah tentu akan mendukung program-program yang dijalankan para pemangku kepentingan tersebut untuk mencapai jangkauan yang lebih luas jika terbukti berdampak positif bagi keberlangsungan pendidikan.
“Kalau biasanya satu atau dua sekolah, coba 20, 50 atau 100 sekolah. Kalau bisa buktikan rekornya bagus, jangan dikit-dikit, karena kalau dikit-dikit, enggak akan cepat," ujarnya.
“Kemudian kita akan membandingkan pendekatan mana yang lebih efektif dan efisien dalam kondisi daerah. Di daerah lain pendekatannya mungkin berbeda, Indonesia tidak bisa satu metode untuk semua," imbuhnya.
Ia berharap, praktik-praktik baik penerapan POPs dapat tersebar di masa mendatang dan mendorong organisasi lain untuk terlibat dalam memajukan pendidikan di Indonesia.
"Saya berharap praktik baik menyebar. Nama perusahaan yang bergerak adalah filosofi gotong royong. Kita maju bersama. Mereka yang tidak membantu orang lain agar kita bisa saling menguatkan," kata Ivan Syahril.
DYL_RPH