Oleh : Syifa Aulia Rahma
Mahasiswa FEB
Uhamka
Seperti
yang kita tahu bahwa metaverse menjadi perbincangan setelah Mark Zuckerberg
mengubah nama perusahaannya yang tadinya bernama Facebook menjadi Meta. Mark
juga mengungkapkan visinya untuk membangun dunia virtual bernama metaverse.
Dalam imajinasi Mark, metaverse berwujud dunia virtual yang membawa pengalaman
dunia nyata, bukan hanya aplikasi saja. Tren dan konsep metaverse sebenarnya
sudah muncu sejak lama, namun dengan seiring dengan majunya teknologi,
metaverse mendapatkan popularitas dan menarik perhatian. Menurut Mark untuk menghadirkan dunia
metaverse, teknologi AR harus dipadukan dengan teknologi VR dan didukung oleh
AI.
Secara singkat, AR atau Augmented Reality adalah teknologi
yang menggabungkan benda maya dua dimensi dan ataupun tiga dimensi ke dalam
sebuah lingkungan nyata lalu memproyeksikan benda-benda tersebut secara
realitas dalam waktu nyata. Sementara Virtual Reality (VR) adalah
teknologi yang mampu menciptakan simulasi. Dimana simulasi ini bisa sama persis
dengan dunia nyata, seperti suasana saat seorang berjalan mengelilingi kota dan
segala bentuk aktivitas lainnya. Sedangkan AI atau Artificial Intelligence
yaitu sebuah teknologi yang memungkinkan sistem komputer, perangkat lunak,
program dan robot untuk “berpikir” secara cerdas layaknya manusia. Dan di dalam
metaverse juga terdapat mata uang digital yang memungkinkan pemain untuk
melakukan aktivitas jual beli.
Istilah Metaverse ini pertama kali muncul di salah satu novel karya
Neal Stephenson yaitu Snow Crash, yang dirilis pada tahun 1992 dan novel Ready Player One
karya Ernest Cline (2011). Dalam kedua novel tersebut, metaverse digambarkan sebagai ruang
yang menghubungkan dunia virtual dan AR. Di dalam novel ini, mengisahkan
bahwa manusia sebagai avatar yang bisa berinteraksi dengan avatar
lainnya dalam ruang virtual 3 dimensi, yang merupakan metafora dari
dunia nyata. Menurut Matthew Ball seorang venture kapitalis dan penulis
metaverse scrimmer mendefinisikan metaverse adalah jaringan luas dari
dunia virtual 3 dimensi yang bekerja secara real-time dan presisten. Serta
mendukung berkesinambungan identitas, objek, sejarah, pembayaran dan hak yang
mana dunia itu dialami secara serempak oleh jumlah pengguna yang tidak
terbatas.
Selanjutnya
yang menjadi pertanyaan bagaimana akuntansi melihat virtual asset
sebagai tangible atau intangible asset yang dapat diakui dalam
neraca perusahaan. Masalah lainnya dalam dunia metaverse yaitu pajak yang akan
dibebankan terhadap asset-aset virtual. Meskipun pemerintah telah menekankan
adanya pengenaan pajak atas aset mata uang kripto, tentu hal tersebut tidak
sama ketika ada transaksi jual-beli virtual land yang terjadi dalam
dunia metaverse. Pastinya para ilmuwan atau ahli akuntansi akan bekerja sangat
keras untuk menciptakan teori akuntansi yang baru yang bisa menyesuaikan sistem
yang ada di dunia metaverse. Tetapi, metaverse mendapat respon yang lumayan
positif sebagai salah satu tekonologi yang akan digunakan di masa depan.