Oleh : Ghufron Farhan
Mahasiswa Uhamka
Saat ini sudah cukup banyak umat non mulim yang menabung, meminjem dana dan produk-produk lainnya di bank syariah. Namun mereka belum mengetahui betul mengenai haramnya riba, berbeda dengan umat yang beragama muslim yang sebagian besar sudah mengetahui hukum tentang haramnya riba. Karena masyarakat yang beragama non muslim atau masyarakat tidak beragama hanya memilih atau memeprtimbangkan harga, keuntungan, pelayanan dan kenyamanannya saja.
Jadi jika bekerja di bank syariah dan menawarkan product kepada umat non muslim, maka lebh baik hanya akan berfokus untuk menawarkan kelebihan dan keuntungan yang akan di dapat dalam produk ersebut untuk menarik minat umat non muslim itu. Dan pada saat ini Perkembangan bank syariah di Indonesia kian menunjukkan akselerasi cepat dan membanggakan. Jumlah bank syariah dan jumlah dana yang terhimpun serta pembiayaan yang disalurkan statistiknya meningkat tiap tahun. Namun dibalik itu ada pandangan atau opini bahwa bank syariah dalam operasional jasa-jasanya tidak sesuai dengan ketentuan syariah.
Dan hal yang minus dalam proses penerapan syariah menuju kaffah merupakan konsekuensi logis dari hampir semua akad-akad yang ada dalam hukum Islam akad yang berkaitan dengan hubungan langsung person to person, seperti akad mudharabah, pemilik modal dan pekerja, dan akad murabahah penjual dan pembeli. Dalam implementasinya akad-akad tersebut di lembaga keuangan telah terjadi penambahan pelaku akad, yaitu bank sebagai intermediator.
Dengan demikian hubungan langsung person to person tidak dapat dipertahankan secara murni. Inilah yang menjadi embrio munculnya problem syariah dalam implementasi akad-akad di bank syariah. Kedua, dari segi sejarah dan sosial budaya, akad merupakan produk budaya yang lahir dari perkembangan dan kebutuhan masyarakat. Kemudian diformulasikan dan diberi filterisasi nilai-nilai Islam. Para ulama telah berupaya melakukan ijtihad, memahami, mengaji dan mengkontrusi akad-akad tersebut melalui isyarat al-nash (al-Quran) dan petunjuk hadist.
Faktor-faktor sosial budaya masyarakat yang melingkari kehidupan ulama waktu itu tentu merupakan variabel yang inheren yang tidak dapat dipisahkan dan sedikit banyaknya mempengaruhi hasil ijtihad para ulama. Artinya, akad-akad muamalat tersebut merupakan produk ijtihad ulama merespon sosial masyarakat di era ulama mujtahid hidup.
Dengan demikian, penerapan akad-akad sebagai hasil ijtihad ulama masa lalu di tengah perkembangan dan kemajuan kehidupan masyarakat yang kiat pesat dengan segala dinamikanya termasuk kehidupan dalam dunia perbankan tentu sangat lah logis jika menimbulkan beberapa masalah terutama masalah syariahnya. Ketiga, usia perbankan syariah di Indonesia lebih kurang 20 tahun yang merupakan usia yang relatif pendek. Di lain pihak, bank syariah yang menjadikan akad syariah sebagai basis operasional berhadapan dengan masyarakat pengunan jasa bank yang notabenenya telah bergelimang dengan sistem konvensional. Maka implementasi syariah dalam kegiatan perbankan dibutuhkan proses atau pentahapan.
Problem syariah yang muncul dalam penerapan akad-akad syariah pada kegiatan bank merupakan bagian dinamika proses menuju ke sempurnaan implementasi. Keempat, bank syariah dalam menjalankan operasionalnya masih sangat minim SDM yang memiliki background pendidikan syariah. Mereka berkerja di bank syariah sepenuhnya menghandalkan pengetahuan tentang syariah didapat dari pelatihan,kursus dan pendidikan singkat. Dalam keterbatasan pengetahuan syariah itulah, kesalahan dan penyimpangan serta berbagai persoalan-persoalan syariah muncul dalam penerapan akad-akad syariah di bank syariah. Berikit adalah opinion saya tentang pembiayaan syariah