Oleh : Ramli Lahaping
Dengan penuh kegusaran, Sadam bergegas ke dalam kamar untuk menemui Wina, istrinya. "Kenapa berdandan terlalu lama? Buang-buang waktu saja. Kau tidak akan berubah menjadi seorang bidadari," ketus Sadam, di ujung pagi, lima minggu yang lalu, setelah ia kehilangan kesabaran menunggu sang istri selesai berdandan.
Wina yang sedang melukis alisnya di depan cermin lemari, akhirnya terusik. "Kenapa tidak sabar begitu, sih? Aku ini perempuan. Wajar kalau aku butuh waktu lebih lama untuk merias diriku sebelum ke pesta."
Sadam pun mendengkus sinis. "Apa gunanya juga berdandan lama-lama untuk terlihat cantik dalam sekejap waktu? Toh, nanti, kalau riasanmu terhapus, kau akan kembali terlihat jelek, seperti apa adanya."
Merasa tersinggung, Wina sontak menolehi sang suami dengan raut kesal. "He, betapa lancang mulutmu. Aku ini istrimu. Kau seharusnya menghargaiku." Ia lalu kembali menghadap cermin. “Kau ini benar-benar tidak tahu untung memiliki istri yang cantik sepertiku.”
"Cantik apanya?" sindir Sadam.
Seolah kehilangan kesabaran, Wina lantas berbalik badan dengan wajah beringas. "He, Pincang, jangan merendahkanku seperti itu. Kau semestinya bersyukur karena aku ini mau dan masih sanggup menjadi istri untuk lelaki cacat sepertimu."
Sadam malah tergelak. "Alah, kau yang semestinya bersyukur karena aku yang tampan ini sedia menikahi perempuan jelek sepertimu. Kalau bukan aku, tak akan ada yang sudi menjadi suamimu."
Wina jadi makin emosi. "Bisa-bisanya kau berkata seperti itu. Kau sungguh tidak tahu diri. Kau seharusnya tahu kalau banyak lelaki yang menginginkanku sedari dahulu sampai sekarang. Kau seharusnya takut kalau aku yang cantik ini berpaling ke lain hati,” geramnya, dengan tatapan yang nanar. “Dasar pincang!"
"Ah, jangan mengarang,” tanggap Sadam dengan raut mengejek. “Dasar ompong!"
“Eh, pincang sialan!" timpal Wina.
Seolah kehabisan selera untuk beradu mulut, Sadam lantas melengos dan beranjak pergi.
Di tengah ruang keluarga, Gina, putri mereka yang masih duduk di bangku kelas 1 SMP, hanya meringkuk murung di atas sofa, sembari memandang kosong pada layar ponselnya. Sang anak merasa bersedih setelah kembali mendengar pertengkaran hebat mereka untuk kesekian kalinya.
Akhirnya, pada hari itu, dengan kekesalannya yang menggunung, Sadam berangkat sendiri dengan sepeda motornya ke pesta pernikahan sepasang warga di desa sebelah desanya, sedang Wina menyusul dengan boncengan Gina, anak semata wayang mereka.
Sejak percekcokan itu, hubungan Sadam dan Wina makin tidak harmonis. Mereka tak lagi berbalas kata secara layak. Hari-hari mereka lalui dengan saling meremehkan. Mereka hidup di bawah atap yang sama, tetapi mereka seolah bukan suami-istri lagi.
Keadaan itu jelas berkebalikan dengan keadaan di awal hubungan mereka dahulu. Jauh di masa lalu, saat mereka masih duduk di bangku kelas 2 SMA, mereka begitu saling menghargai sebagai sepasang kekasih. Mereka senantiasa berbalas sanjungan dengan sapaan-sapaan intim, seolah-olah mereka tidak akan pernah bosan untuk saling mencintai.
Namun hubungan mereka dahulu, sempat juga terjeda dengan perpisahan yang lama. Itu terjadi setelah mereka terlibat kecelakaan sepeda motor, saat mereka sesadel sepulang sekolah, kala mereka masih duduk di bangku kelas 3 SMA. Pada saat itu, sebuah mobil dari arah berlawanan berusaha melambung mobil lain hingga mengambil lintasan mereka. Sadam sontak membanting setir ke sisi kiri, hingga mereka jatuh ke bawah jembatan yang tinggi.
Atas kejadian itu pula, kondisi fisik mereka berubah. Langkah kaki Sadam jadi terpincang-pincang setelah tulang paha kaki kanannya patah, sedangkan Wina berubah rupa setelah satu gigi seri bagian atasnya tanggal. Sejak saat itu, perlahan-lahan, mereka berubah sikap. Mereka tak lagi saling mengandalkan. Sadam tak lagi memuja paras Wina, sedangkan Wina tak lagi mengharapkan ketangkasan Sadam.
Hingga akhirnya, hubungan mereka berakhir tanpa kata perpisahan yang tegas. Mereka seperti sama-sama menyadari bahwa mereka tak lagi saling menginginkan atas ketunaan fisik mereka masing-masing. Mereka sama-sama menerima kenyataan untuk tidak saling memaksakan selera perasaan mereka atas keadaan mereka yang telah jauh berubah.
Waktu demi waktu bergulir, mereka terus hidup sendiri-sendiri. Pasalnya, mereka tak bisa juga mendapatkan kekasih pengganti untuk menjadi pasangan hidup. Mereka seakan-akan telah kehilangan daya tarik untuk dipandang berarti di mata para pencari cinta. Mereka pun pasrah saja untuk melajang sekian lama, hingga usia mereka menginjak kepala tiga.
Sampai akhirnya, di tengah keputusasaan untuk mendapatkan hati yang lain, mereka kembali saling menerima untuk menjadi sepasang kekasih. Mereka seolah saling mengasihani atas keadaan mereka akibat kecelakaan yang mereka alami bersama. Mereka kemudian menikah, sembari meredam hasrat untuk mendapatkan pasangan yang mereka anggap lebih baik.
Akibat kebersamaan mereka yang sekadar dilandasi kepasrahan, perlahan-lahan, hubungan mereka pun terus merenggang. Mereka jadi kerap tersulut emosi untuk beragam perkara, hingga mereka saling mengumpat dan bertengkar. Entah karena rasa masakan Wina yang kurang pas, atau kegagalan Sadam meningkatkan panen jagung, dan lainnya.
Tak tahan melihat peraduan emosi ayah-ibunya secara terus-menerus, Gina pun berupaya mengakhirinya. Ia ingin membuat keduanya kembali saling memedulikan. Hingga akhirnya, empat minggu yang lalu, ia membujuk sang ibu untuk memasang gigi palsu di sebuah klinik, dan sang ibu sedia melakukannya dengan uang tabungannya sendiri.
Setelah memakai gigi palsu, penampilan Wina sontak berubah drastis. Ia jadi tampak menawan. Ia seperti mendapatkan kembali nilai kecantikannya yang telah lama hilang akibat keompongannya. Karena itu, ia jadi makin percaya diri. Ia tak lagi segan untuk menebar senyumannya tanpa menutup mulutnya dengan telapak tangan.
Tetapi seiring penghargaan orang-orang terhadap penampilannya, Wina malah jemawa. Tanpa keseganan, ia enteng memamerkan hasil swafoto dirinya di akun Facebook-nya. Dan untuk itu, ia terus mendapatkan tanggapan dan komentar pujian dari para warganet. Ia bahkan mulai mendapatkan pesan-pesan bernada gombalan dari beberapa lelaki.
Dengan segenap penghargaan yang ia dapatkan di dunia nyata dan dunia maya, Wina pun makin besar kepala. Hari demi hari, ia terus menebar pesonanya. Sampai akhirnya, Sadam jadi khawatir kalau istrinya itu benar-benar berhasil menggaet lelaki lain. Ia sungguh tak rela sang istri meninggalkannya ketika ia mulai kembali menyadari keberhargaan sang istri.
Empat hari yang lalu, kekhawatiran Sadam pun mendapatkan ancaman. Itu karena sepulang ia dari kebun, Gina melaporkan bahwa seorang lelaki telah bertandang ke rumah mereka dan mengaku sebagai kenalan Wina di dunia maya. Sang lelaki bermaksud bertemu langsung dengan Wina yang ia kira masih lajang, untuk menjalin hubungan yang serius. Tetapi sang lelaki akhirnya pulang dengan rasa kecewa setelah Gina menuturkan bahwa Wina adalah ibunya yang masih bersuami.
Merasa benar-benar khawatir, Sadam kemudian menjalankan siasat untuk menunjukkan rasa cintanya kepada sang istri tanpa merendahkan harga dirinya sendiri. Ia ingin mengimpaskan segenap hinaannya secara berwibawa, sekaligus mengakhiri pertaruhannya dengan sang istri untuk menggaet hati yang lain. Ia mengaku kalah dan tobat atas sikapnya yang merendahkan.
Akhirnya, kemarin, ketika sang istri tengah tidur siang di dalam kamarnya, Sadam yang tengah berada di ruang keluarga kemudian menjawab sebuah panggilan telepon. Dengan sikap tenang, ia lantas menanggapi sang penelepon dengan menyalakan pengeras suara ponselnya, dengan volume yang sekiranya cukup untuk sampai di telinga sang istri.
"Boleh kenalan tidak, Bang?" tanya manja sang perempuan penelepon kemudian.
"Kenalan untuk apa?" tanya balik Sadam dengan intonasi datar.
"Ya, siapa tahu kita cocok untuk memadu kasih, Bang," jawab sang penelepon, masih dengan suara mendayu.
"He, jangan sembarangan. Aku ini sudah beristri," tegas Sadam.
Sang perempuan malah terdengar tertawa genit. "Ya, selama istri Abang tidak tahu, tidak ada masalah, kan?"
"He, perempuan sinting, kau kira aku tidak takut dosa, apa? Aku tidak akan mau main-main dengan wanita lain! Hubungan pernikahan itu suci, dan aku tak ingin menodainya!" gerutu Sadam, dengan nada keras.
Sang perempuan pun terdengar mendengkus kecewa. "Tetapi, kan...?”
"Ah, sudah," potong Sadam. "Jangan berharap aku akan mengkhianati istriku untuk wanita murahan sepertimu," pungkasnya, lantas menutup sambungan telepon.
Dan akhirnya, hari ini, Sadam melihat sikap istrinya banyak berubah. Sang istri tampak antusias mengerjakan pekerjaan rumah tangga, juga mulai meresponsnya dengan tutur kata yang baik. Sang istri seolah-olah kembali memercayai ketulusan cintanya setelah percakapannya melalui sambungan telepon dengan seorang perempuan kemarin, tanpa sang istri tahu bahwa sang penelepon adalah Gina, putri mereka, yang berlakon sebagai wanita penggoda.***
Ramli Lahaping. Kelahiran Gandang Batu, Kabupaten Luwu. Berdomisili di Kota Makassar.