Oleh : Vina Silvina
Mahasiswa Uhamka
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menegaskan bahwa izin kegiatan pembelajaran tatap muka di perguruan tinggi dan politekenik/akademi komunitas pada semester genap Tahun Akademik 2020/2021 dapat dilakukan secara campuran (hybrid learning), dalam jaringan, dan tatap muka, dengan protokol kesehatan yang ketat. Hal ini merujuk Surat Keputusan Bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Menteri Agama (Menag), Menteri Kesehatan (Menkes), dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran pada Tahun Ajaran 2020/2021 dan Tahun Akademik 2020/2021 di Masa Pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19).
“Sehubungan dengan keluarnya keputusan bersama empat Menteri tersebut, maka pembelajaran pada tahun akademik 2020/2021 yang akan dimulai bulan Januari 2021 di perguruan tinggi dapat diselenggarakan secara campuran (hybrid learning), dalam jaringan, dan tatap muka,” jelas Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti), Kemendikbud, Nizam, pada konferensi pers yang digelar secara virtual pada Rabu (2/12).
Dirjen Dikti menegaskan bahwa kebijakan ini hanya mengizinkan penyelenggaraan perkuliahan tatap muka serta kegiatan akademik lainnya yang berbentuk pelaksanaan penelitian dan pengabdian masyarakat. “Perguruan tinggi harus tetap memprioritaskan kesehatan dan keselamatan warga kampus yang meliputi mahasiswa, dosen, tenaga kependidikan, serta masyarakat sekitar,” ujarnya.
Hybrid Learning adalah metode pembelajaran yang menggabungkan atau mengkombinasikan antara pembelajaran daring dengan pembelajaran tatap muka. Sehingga dalam pelaksanaanya, ada kalanya peserta didik dan tenaga pendidik bertatap muka langsung dikelas. Dan ada kalanya melakukan pembelajaran jarak jauh. Dunia pendidikan, mau tidak mau harus dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan situasi yang semakin sarat ketidakpastian. Harapan banyak pihak untuk segera kembali normal, dapat masuk sekolah seperti sedia kala, hanya menggantang asap. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan tahun lalu menunjukan, selama pandemi, kurang dari 50% siswa yang benar-benar belajar dengan baik dirumah. Situasi demikian tentu sangat mengkhawatirkan. Pengamat pendidikan menyebutnya dengan learning loss, dapat dilihat misalnya pada penurunan tajam kemampuan anak membaca dan berhitung. Sebenarnya, wajar jika selama psndemi hasil belajar siswa belum optimal. Karena banyak orang tua yang kurang paham mengenai materi pelajaran anaknya. Hal tersebut juga merupakan salah satu faktor pembelajaran daring kurang optimal.
Lewat blended learning ini, maka diharapkan bisa mengatasi keterbatasan yang dimiliki oleh pembelajaran jarak jauh atau pembelajaran daring. Sebab ada kalanya terjadi interaksi sosial ketika peserta didik bertatap muka langsung dengan tenaga pendidik. Misal, mahasiswa bertemu dosen di kelas di tengah pandemi. Pembelajaran daring yang dipaksa diterapkan sejak pandemi masuk ke Indonesia, memang panen masalah. Minimnya interaksi sosial antar mahasiswa atau antara mahasiswa dengan dosen menyisakan masalah psikis. Stres menjadi salah satu efek yang ditimbulkan oleh sistem pembelajaran tersebut. Sehingga banyak pihak yang menginginkan agar pembelajaran daring ini disudahi. Apalagi dengan ketergantungannya pada perangkat untuk online dan jaringan internet. Sehingga selama mengikuti pembelajaran, masalah lebih mudah muncul dibanding saat pembelajaran tatap muka langsung. Selain sisi positif hybrid leaning juga punya kelemahan yaitu kekhawatiran orang tua ketika berlangsung PTM meskipun sesuai protokol kesehatan tetapi tidak menutup kemungkinan covid-19 ada disekitar kita. Selain itu metode ini menciptakan kesulitan dalam mengatur jadwal belajar harian dan masih bergantung pada perangkat jaringan atau internet. Perlu disiapkan beberapa tahap mulai dari penyemprotan cairan disinfektan, tes antigen untuk pelajar dan pengajar serta penerapan baru dari sistem belajar mengajar.
Sayangnya, karena pandemi belum selesai maka tidak atau belum memungkinkan dilakukan PTM secara penuh. Oleh pemerintah bersama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) kemudian diputuskan untuk menerapkan PTM terbatas. Yakni hybrid learning itu sendiri, yang menggabungkan PTM dengan PJJ. Disebut PTM terbatas karena jumlah mahasiswa di kelas dibatasi hanya 50%, dan kemudian ada kewajiban untuk melaksanakan protokol kesehatan secara ketat. Selain itu, ditetapkan pula PTM bisa dihentikan jika terjadi kasus positif di sekolah atau kampus yang bersangkutan. Selain itu, PTM terbatas baru bisa dilaksanakan di wilayah dengan PPKM level 1-3 saja.
Penerapan hybrid learning sama seperti dengan pembelajaran yang dilakukan selama ini, yaitu dimulai dengan persiapan. Persiapan hybrid learning dimulai dengan melakukan analisis peserta didik, konteks dan konten pembelajaran atau perkuliahan. Hasil dari analisis ini untuk memetakan kompetensi harus dikuasai oleh peserta didik melalui tatap muka secara langsung atau mandiri secara daring. Selanjutnya hasil analisis tersebut dituangkan ke dalam silabus atau rencana pembelajaran. Pelaksanaan hybrid learning dapat dilaksanakan dengan pembagian peserta pembelajaran dalam satu kelas dibagi menjadi dua shift. Untuk minggu pertama misal shift A pembelajaran tatap muka shift B pembelajaran secara daring. Sebaliknya pada minggu kedua shift A pembelajaran secara daring shift B pembelajaran tatap muka. Pembelajaran tatap muka dilakukan secara langsung di dalam kelas. Pembelajaran secara daring dilakukan untuk memfasilitasi interaksi daring dengan menggunakan learning management system (LMS), misal Edmodo, Google Classroom, Google Meet, Zoom Meet, Skype, Whatsapp atau media daring lain. Pembelajaran secara daring real time sebaiknya juga disertai tugas mandiri dan terstruktur. Evaluasi pembelajaran hybrid learning mencakup evaluasi atau hasil capaian pembelajaran untuk mengukur penguasaan kognitif, psikomotorik, dan afektif. Ujian dapat dilakukan secara tata muka di sekolah atau dilakukan secara daring.