Oleh : Fadlicha Faradila
Mahasiswa FEB Uhamka
Pertumbuhan penduduk beserta perubahan pola hidup masyarakat menjadi salah satu faktor pemicu akan marak tingginya timbunan sampah di Indonesia. Berbicara soal sampah memang tidak ada habisnya, dari berbagai kota besar sampai desa pun sampah masih menjadi persoalan utama yang tak kunjung terselesaikan. Terutama sampah plastik yang selalu menjadi perhatian khalayak, bahkan dunia Internasional. Indonesia telah dikenal menjadi negara dengan produksi sampah plastik terbesar kedua di dunia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Asosiasi Industri Aromatik, Olefin, dan Plastik Indonesia (Inaplas) pada 2019, menyebutkan bahwa produksi sampah plastik Indonesia mencapai 64 juta ton per tahun.
Menurut data World Bank tahun 2019, dalam setahun Indonesia menyumbang sedikitnya 1,3 juta ton pada laut dunia dan 30 persen diantaranya sampah plastik. Dampaknya,selain berbahaya bagi ekosistem dan lingkungan, tentu mengganggu stabilitas kehidupan bumi. Dilihat dari berbagai lingkungan tempat tinggal, bahkan banyak pula sampah berserakan di pinggir jalan, namun taka da kesadaran dari diri sendiri maupun orang lain untuk memungut dan membuang sampah pada tempatnya. Padahal anggaran untuk unit pengelolaan sampah terpadu (UPST) pada 2019 sendiri sebesar 1,2 triliun dan naik setiap tahunnya. Jadi mengapa masalah sampah sulit diselesaikan? pengaruh utamanya adalah buruknya perilaku konsumsi plastik masyarakat Indonesia. Setiap penduduk di Indonesia rata-rata mengkonsumsi plastik hingga 12 hingga 23 kilogram pertahun (Kementerian Perindustrian). Menurut Sustainable Waste Indonesia (SWI) jumlah tersebut cenderung lebih kecil dari negara lainnya seperti Malaysia dan China.
Guna mengatasi persoalan sampah kemasan plastik, diperlukan kebijakan dan strategi yang tepat dengan menyinergikan aspek perlindungan lingkungan hidup, pertumbuhan ekonomi, serta stabilitas sosial, dengan tujuan akhir berupa pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Salah satu pendekatan dalam pengelolaan sampah yang berkelanjutan (sustainable waste management) yang saat ini ramai diperbincangkan adalah pendekatan circular economy. Pendekatan tersebut sudah diadopsi sejumlah negara, seperti Jepang (dengan istilah sound material - cycle society), Korea Selatan (dengan istilah greengrowth), Tiongkok, dan Uni Eropa. Dari jumlah itu data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebutkan prosentase masyarakat yang mendaur ulang plastik hanya 1,2%. Itu artinya dari 268 juta penduduk Indonesia, hanya sekitar 3 juta orang yang peduli pentingnya daur ulang sampah plastik.
Program tersebut merupakan kolaborasi bank sampah dengan manajemen sistem circular ekonomi atau ekonomi sirkular. Di negara-negara maju program circular economy sangat diunggulkan untuk mendorong ekonomi ramah lingkungan. Sistem circular economy memandang sampah memiliki nilai dan komoditas yang berpotensi dikembangkan. Hal tersebut dapat memungkinkan sampah didaur ulang menjadi produk baru (upcycling). Selain menciptakan ranah ekonomi baru, juga dapat meminimalisir beban lingkungan dan pembuangan akhir. Penerapannya dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti recycling plastik, upcycling sebagai bahan campuran aspal, ecobricks, bahan bakar atau energi dan lainnya. Pada dasarnya, circular economy itu tidak hanya memfokuskan pada upaya pengelolaan sampah saja, namun juga pemberdayaan masyarakat.
Maka dari itu kita harus senantiasa ikut berparstisipasi dan mensukseskan program tersebut. Akan tetapi program tersebut harus dibarengi juga dengan perbaikan pola konsumsi masyarakat. Penggunaan tas belanja mulai diterapkan sebagai upaya pengurangan plastik harus massif dilakukan. Circular economy menjadi mudah duwujudkan dengan kekuatan kolektif masyakat sebagai solusi Indonesia bebas dari bermacam-macam sampah plastik. Mari kita dukung dan terus berpartisipasi dalam upaya mengurai masalah sampah nasional.