Prof. Dr. Abdul Rahman A.Ghani, Wakil Rektor I UHAMKA
Guru merupakan bagian sentral dalam dunia pendidikan.
Betapa tidak, apapun kebijakan tentang pendidikan baik oleh pemerintah maupun
manajemen sekolah, guru adalah ujung tombak pelaksananya, mulai dari kurikulum,
strategi, metode pembelajaran, penilaian,
evaluasi pembelajaran, dan seterusnya. Maka tidak berlebihan jika dikatakan,
factor utama keberhasilan pendidikan banyak terletak pada guru. Semakin baik
dan professional guru, maka potensi keberhasilan pendidikan semakin besar;
begitu pula sebaliknya.
Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang
Guru dan Dosen sudah menyebutkan bahwa Guru adalah pendidik profesional. Lebih
lanjut, Undang-Undang menjelaskan yang dimaksud profesional adalah pekerjaan
atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan
kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi
standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.
Namun disadari bahwa “profesionalitas”
guru harus diletakkan dalam kerangka dinamis dan berkembang sesuai dengan
dinamika sosio-cultural kemasyarakatan, bukan sesuatu yang statis. Dinamis
tidak hanya dari segi substansi materi yang diajarkan, namun juga strategi dan
juga teknik dalam pengajaran dan pendidikan kepada para peserta didik.
Pada masa lalu, guru SD barangkali masih
nyaman dengan pola pembelajaran baca, tulis, hitung (calistung) yang masih
sederhana; buku-buku pelajaran juga masih relatif sederhana. Namun, seiring
perkembangan jaman, pada tingkat SD saja guru sudah tidak hanya mengajarkan
calistung. Guru sudah dituntut masuk kepada aspek pengetahuan, aspek
keterampilan, aspek sikap, dan perilaku, sebagaimana tercermin dalam Kurikulum 2013. Jika hanya sekedar Calistung,
sekarang ini anak-anak sudah banyak memiliki “guru” melalui media-media
elektronik dan internet.
Lalu, bagaimana menjadi guru ditengah
perkembangan jaman seperti sekarang yang tidak hanya sudah mengglobal, namun
sudah banyak disebut sebagai era Revolusi Industri 4.0?; atau, dengan
pertanyaan pendek: bagaimana menjadi guru 4.0?
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang
Guru dan Dosen sudah menyebutkan: “Guru adalah pendidik profesional dengan
tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan
mengevaluasi peserta didik pada anak usia dini jalur pendidikan formal,
pendidikan dasar, dan pendidikan menengah (pasal 1 ayat (1)). Pengertian tersebut
lebih banyak merujuk menjelaskan jenis tugas yang dilakukan guru di sekolah;
namun, bagaimana kualitas guru dalam menjalankan tugas tersebut? Inilah
yang penting diperhatikan.
Kualitas dalam menjalankan tugas merupakan
aspek yang menentukan kualifikasi “guru”. Jika diperjelas sebagaimana tuntutan
Kurikulum 2013, guru harus memiliki kualitas pengetahuan, ketrampilan, sikap
dan perilaku yang diperlukan para peserta didik. Dalam cara pandang yang lebih
luas, guru harus memiliki tanggungjawab pengetahuan, tanggung jawab moral, dan
tanggung jawab sosial.
Tanggung jawab pengetahuan adalah bagaimana
guru dapat menguasai dan melakukan transformasi pengetahuan kepada para siswa. Dan
tidak hanya transformasi, namun bagaimana siswa juga mempercayai kebenaran atas
apa yang disampaikan sehingga tergerak untuk menjalankan atas apa yang
disampaikan. Begitu pula, pengetahuan yang disampaikan juga pengetahuan yang memiliki relevansi dengan kebutuhan siswa.
Tanggung jawab moral menempaykan guru
tidak hanya berprilaku baik ketika di sekolah, bahkan diluar sekolah eksistensi
guru harus terus menjiwai untuk menjaga nilai-nilai kebaikan. Dalam perkataan lain, guru harus memberikan
pancaran pendidikan karakter terlebih dahulu bagi dirinya, sehingga dapat
menjadi contoh dan teladan bagi para siswa. Kualitas karakter guru menjadikan
pengetahuan yang disampaikan, bahkan instruksi yang diberikan kepada para
siswa, memiliki wibawa dan daya gerak kepada para siswa. Sebaliknya tanpa
karakter, apa yang disampaikan guru berpotensi dianggap angin lalu oleh para
siswa karena sering adanya inkonsistensi antara apa yang disampaikan dengan apa
yang dilakukan.
Tanggung jawab social menempatkan guru
sebagai pihak agent of change masyarakat. Apa yang disampaikan dan
tindakan guru harus dapat mewarnai para peserta didik, bahkan masyarakat,
sehingga memiliki rujukan tentang nilai-nilai kebaikan yang agung. Tanggung
jawab sosial ini merupakan konsekuensi dari tanggung jawab pengetahuan dan
moral guru. Dengan kata lain, guru yang memiliki tanggung jawab sosial akan
tercermin dan terpancar dari pelaksanaan tanggung jawab pengetahuan dan moral.
Demikianlah, guru tidak seharusnya hanya
mengejar target menghabiskan bahan-bahan pelajaran saja, namun bagaimana materi
pelajaran yang disampaikan dapat diserap murid dan mampu menggerakkan mereka
sehingga dapat menjadi perubahan, baik bagi guru itu sendiri, siswa, dan
masyarakat bahkan negara.
Barangkali
kita tidak asing dengan ungkapan lama yang berkembang di masyarakat, bahwa “guru”
adalah orang yang “digugu” dan “ditiru”. “Digugu” adalah orang
yang dapat dipercaya atas apa yang
disampaikan, baik tulisan maupun omongan. “Ditiru” adalah orang yang dapat menjadi contoh atau teladan
atas berbagai tindakan, ucapan, dan bahkan dalam cara berpakaian, cara
berjalan, cara bersikap dengan sesama, dan hal-hal lain yang melekat pada diri
seorang guru. Ki Hajar Dewantara
menjelaskan eksistensi guru tersebut dengan ungkapan yang terkenal: “Ing Ngarso Sung Tulodho; Ing Madya Mangun Karso;
Tut Wuri Handayani.”
Tanggung
jawab pengetahuan menempatkan guru harus memiliki kecerdasan (Fathonah)
sebagai prasyarat untuk menyerap dan menyampaikan pengetahuan. Kecerdasan yang
dimaksudkan disini bukanlah sesuatu yang genetik, namun ia merupakan ketekunan
dalam pikir baik dengan membaca, diskusi, dan cara-cara lain yang sejenis. Dengan
demikian, kecerdasan memungkinkan guru memiliki pengetahuan yang luas, bahkan
interdisipliner. Kemudian, Tanggung jawab moral menempatkan guru harus memiliki
sifat bisa dipercaya (amanah) dan
jujur (shidq). Dan Tanggung jawab social menempatkan guru harus
dapat menyampaikan dan memberi teladan kepada peserta didik, dan itu adalah Tabligh.
Tanggungjawab
yang melekat pada guru tersebut menghadapkan pada eksistensi guru yang dapat
dikatakan mengemban misi profetik (kenabian). Guru Sejati (dengan huruf besar) selalu
tercermin keempat sifat (Sidq, tabligh, amanah, dan fathonah) dimana
sifat-sifat tersebut juga melekat pada kenabian. Selebihnya adalah konsistensi
(istiqomah) terhadap apa yang telah menjadi jalan kebaikan.
Dengan
meletakkan guru pada spektrum tersebut, maka dapat digambarkan suatu matrik
yang menggambarkan Integritas Guru sebagai berikut:
Menjadi Guru 4.0
Era
sekarang sudah bukan sekedar globalisasi; namun sudah masuk ke wilayah
perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang sangat dahsyat. Para ahli
menyebut era sekarang disebut dengan Era Industry 4.0. Inti dari revolusi
industri 4.0 adalah perkembangan teknologi yang menekankan pada pola:
a. Digital
economy, yaitu menggerakkan sektor ekonomi melalui perangkat
teknologi digital, seperti: pemasaran online, ojek onlie (ojol), dan lain-lain.
b. Internet
of Things (IoT), alat yang terhubung dengan internet dan saling
terintegrasi, seperti: lampu ruangan
yang terkoneksi dengan internet dan bisa terintegrasi dengan smartphone sebagai
pengaturnya.
c. Artificial
Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan
d. Big
Data
e. Robotic
f. dan
lain sebagainya.
Fenomena
perkembangan tersebut sering disebut juga dengan fenomena disruptive
technology.
Teknologi
sudah menjadi kebutuhan, mulai dari kalangan dewasa hingga anak-anak.
Penelitian KPAI menjelaskan, 79% anak diperbolehkan menggunakan gadget dan
sisanya tidak; 71,3 persen anak memiliki gadget dan sisanya tidak. Penggunaan gadget maupun laptop semakin menjadi kebutuhan
bagi anak-anak seiring dengan pembelajaran online selama Pandemi.
Perubahan
sosial sekarang tidak hanya mengglobal, namun sudah memasuki apa yang disebut
Revolusi Industri 4.0. Fenomena
kepanikan, “kegilaan”, dan bahkan kerancuan nilai (anomie) adalah
beberapa dampak yang pada akhirnya menuntut para guru lebih kreatif dan
meningkatkan secara optimal Kompetensinya.
Guru harus terus menjadi pembelajaran, tidak hanya mengajar. Namun, tetap tegak menjaga Integritas Guru
sebagai dasar Kemuliaan Guru sejati.
Dalam
menjadi guru 4.0, penting kiranya mencermati apa yang disebut dengan Pendidikan
Holistik. Pendidikan holistik pada
dasarnya adalah pendidikan child centered, yaitu menumbuhkan potensi
kecerdasan anak, baik kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual. Sekalipun demikian, pendidikan holistik perlu
dijalankan sejalan dengan era disrupsi; maka Blended learning dapat
menjadi alternatif sebagai strategi pembelajaran. Guru harus pandai-pandai
menjadi “teman” bagi para siswa dalam menjelajah berbagai pengalaman, namun
tidak terlepas dari nilai dan juga model kecerdasan yang menjadi tujuan
pendidikan.
Akhirnya,
sebagai agent of social change, apa yang menjadi tugas Guru harus mampu
mengantar para siswa dan juga masyarakat membangun peradaban yang lebih baik.