Rizky Septia Putri
Mahasiswa Kesehatan Masyarakat FIKES Uhamka
Jumlah satwa liar dilindungi yang diserahkan kepada Pusat Konservasi makin meningkat. Satwa-satwa yang sebelumnya berada dan dipelihara oleh warga, secara sukarela lalu diserahkan kepada berbagai Pusat Konservasi maupun Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA).
Sebagai contoh sejak enam bulan terakhir, ada 21 elang yang diserahkan ke Pusat Konservasi Elang Kamojang (PPEK), Jawa Barat. Jika pada bulan Februari 2017, telah ada 62 elang yang berada di Pusat Konservasi ini, maka dengan tambahan satwa ini jumlahnya meningkat menjadi 83 ekor elang.
Satu dari elang tersebut adalah berjenis elang brontok (Nisaetus cirrhatus) berusia kurang dari setahun, yang diserahkan oleh seorang warga Karawang kepada BKSDA Purwakarta. Elang itu lalu dari BKSDA Purwakarta diserahkan kepada PKEK Garut.
Pada awalnya, pemilik elang tidak punya informasi kemana elangnya harus diserahkan. Setelah memperoleh informasi dari staf Kebun Binatang Ragunan, Jakarta Selatan, elang lalu diserahkan pada pihak BKSDA Purwakara Seksi IV. Pada 20 Juli 2017, BKSDA Purwakarta menjemput elang tersebut ke Karawang yang kemudian langsung dibawa ke PKEK Garut.
Fenomena Penyerahan Satwa
Penyerahan satwa liar kepada pusat konservasi atau pusat rehabilitasi satwa oleh masyarakat menjadi fenomena menarik. Apakah penyerahan ini merupakan bukti meningkatnya kesadaran masyarakat, atau alih-alih lebih merupakan dorongan faktor lain seperti semakin membengkaknya biaya perawatan satwa-satwa tersebut?
Kedua alasan tersebut memang menjadi dua alasan terbanyak yang diberikan oleh pemilik satwa saat menyerahkan satwa peliharaannya ke pusat konservasi atau pusat rehabilitasi satwa.
Kebanyakan dari mereka, akhirnya tersadar bahwa memelihara satwa liar di rumah melanggar undang-undang dan dapat menimbulkan sanksi atau hukuman berat untuk mereka.
Tetapi, tak jarang juga masyarakat menyerahkan satwa liar yang mereka pelihara dengan alasan mahalnya biaya perawatan satwa tersebut.
Contohnya, untuk satwa yang memakan daging atau satwa karnivora. Saat satwa tersebut masih bayi atau anakan, memang tidak menghabiskan banyak biaya pakan. Namun, seiring berjalannya waktu, saat satwa yang mereka pelihara memasuki usia juvenile atau muda, satwa-satwa tersebut membutuhkan pakan yang lebih banyak, yang berarti membutuhkan tambahan biaya.
Dengan tingginya harga daging dan meningkatnya jumlah pakan yang dibutuhkan, banyak para “pecinta satwa” yang pada akhirnya menyerah memelihara satwa liar. Alhasil lalu mereka memilih untuk menyerahkan satwa mereka kepada pusat konservasi atau rehabilitasi satwa.
Lalu apa yang mendorong pemeliharaan satwa dilindungi oleh masyarakat terus saja berlangsung?
Dengan melihat persoalan yang ada. Permasalahan pemeliharaan satwa ilegal masih terus terjadi karena masih tingginya penangkapan satwa dilindungi. Perdagangan dan penangkapan satwa di alam liar sangat marak, yang memudahkan masyarakat utuk memperoleh satwa yang mereka ingin pelihara.
Apalagi dengan banyaknya para pedagang satwa yang kini “membuka lapak” dagangannya secara online. Ringannya sanksi dan hukuman bagi para pedagang satwa liar yang tertangkap juga tidak menimbulkan efek jera. Serta tidak membuat pedagang lain berpikir ulang sebelum menjual satwa-satwa liar, baik secara langsung di pasar burung atau pasar hewan, maupun menjual satwa secara online.
Minim Anggaran
Ibarat bak yang sumbatnya bocor, persoalan penyerahan satwa liar ini tidak akan bisa berakhir, jika permasalahan di hulu, yaitu perburuan dan perdagangan satwa tetap terus berlangsung. Akibatnya akan tetap banyak masyarakat yang memelihara satwa yang dilindungi, yang pada akhirnya lingkaran setan terus berlangsung seperti terjadi saat ini.
Maraknya peredaran perdagangan ilegal lalu memantik pertanyaan mengapa hal ini terus berlangsung. Aparat pemerintah tampak tak mampu mengekseksekusi berbagai tindak penegakan hukum. Bahkan setelah satwa diserahkan, sekedar untuk merawat satwa-satwa serahan masyarakat pun tak mampu.
Dari sisi kebijakan penganggaran, tampak bahwa anggaran pemerintah tidak diprioritaskan untuk “kesejahteraan satwa”. Minimnya anggaran menyebabkan BKSDA pun lalu memilih untuk menitipkan satwa pada pusat konservasi atau rehabilitasi satwa yang kebanyakan dijalankan oleh LSM. Padahal, pusat rehabilitas satwa yang ada pun operasionalnya tergantung kepada bantuan pihak ketiga.
Akibat persoalan anggaran, kebanyakan BKSDA tidak memiliki kelengkapan tenaga medis untuk merawat satwa, seperti tenaga dokter hewan yang mampu memonitoring kesehatan satwa yang disita.
Di lain sisi, untuk memelihara satwa yang dititipkan hingga satwa dapat dilepasliarkan membutuhkan proses yang panjang, tidak mudah dan tidak murah. Perlu biaya yang tinggi dan sumberdaya manusia yang handal dalam tiap prosesnya. Butuh waktu tahunan sebelum satwa tersebut dinyatakan dapat dilepasliarkan.
Selain masalah penegakan hukum yang perlu diperkuat, maka aspek kesadaran masyarakat perlu ditingkatkan. Lewat edukasi dan berbagai media, termasuk sosial media, masyarakat turut diperkenalkan dengan arti penting kehidupan dan kekayaan berbagai jenis satwa liar yang ada ide Indonesia.
Tren meningkatnya jumlah pengunjung yang datang ke Pusat Konservasi untuk melihat dan belajar merupakan awal sinyal positif. Hal ini diharap dapat menjadi dukungan masyarakat untuk mengenal lebih dekat proses pemelihaan hingga pelepasliaran satwa.
Disisi lain, dengan meningkatnya animo masyarakat, pusat konservasi pun memiliki kesempatan untuk memberi edukasi kepada tamu yang berkunjung. Mereka dapat meminta masyarakat untuk membantu menyebarkan informasi tentang pentingnya keberadaan pusat konservasi dan pentingnya kehidupan satwa liar Indonesia.
Semoga satwa liar Indonesia tetap lestari saat ini dan di masa depan.