Rizky Septia Putri
Mahasiswa Kesehatan Masyarakat FIKES Uhamka
Pada masanya, perpustakaan telah menjadi simbol bagi sebuah Perguruan Tinggi (PT), di dalamnya memiliki banyak literasi, buku, jurnal, film, dan beragam publikasi. Perpustakaan telah menjadi mercusuar bagi kampus, hanya saja saat ini bentuknya cenderung berubah lebih digitalized, yang isinya bukan lagi hardcopy melainkan dalam bentuk e-journal dan e-books.
Dalam Undang-Undang No. 43 Tahun 2007 tentang perpustakaan menjelaskan perpustakaan berfungsi sebagai wahana pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi, dan rekreasi untuk meningkatkan kecerdasan serta pemberdayaan bangsa. Dari UU tersebut jelas tertulis bahwa tujuan utama perpustakaan didirikan untuk meningkatkan pengetahuan dan mensejahterahkan bangsa.
Bagi PT, perpustakaan menjadi unsur strategis dalam menunjang akreditasi, eksistensi kampus, dan sarana bagi mahasiswa untuk mendalami disiplin ilmu. Namun, tujuan PT dalam membangun perpustakaan bukan hanya untuk mendorong faktor itu atau hanya untuk melaksanakan Tri Dharma PT semata. Hal terpenting adalah agar perpustakaan dapat menjadi pusat gerakan literasi dan menjadi ruang yang penuh dengan berbagai keilmuan dan pustakanya.
Fakta saat ini, banyak perpustakaan sepi seperti kuburan di tengah keriuhan kampus. Hal itu karena masih ada PT yang belum berupaya untuk melakukan transformasi dalam pengelolaan perpustakaannya. Di samping itu, mahasiswa masih memandang perpustakaan sebagai objek. Mahasiswa milineal cenderung lebih betah menggunakan gadget dibandingkan membaca buku di perpustakaan. Dengan kondisi demikian reformasi untuk perpustakaan harus dilakukan agar dapat menjadi tiang penyangga dalam membangun pendidikan di elemen masyarakat, terutama membangun kelompok mahasiswa agar antusias terhadap perpustakaan.
Hal demikian, tentu tidak kita inginkan jika budaya literasi pendidikan anak bangsa telah hilang. Buku dan artikel seharusnya menjadi suatu pedoman bagi anak bangsa. Itu akan lebih baik jika perpustakaan menjadi prioritas sebagai tempat membaca, belajar, dan berdiskusi. Mahasiswa sekarang memang semakin cerdas dan kritis dalam menganalisa suatu permasalahan. Oleh karenanya, untuk mendorong mahasiswa dalam mendukung perpustakaan yang optimal, PT dan para stakeholder perlu membekali pengetahuan melalui program yang lebih membangun perpustakaan yang baik. Terutama membangkitkan minat baca, kenyamanan, dan kepercayaan diri saat mahasiswa membaca di perpustakaan.
Sejauh ini perpustakaan sebagai pusat literasi belum berkiprah secara optimal, yang salah satunya ditandai dengan minat baca anak bangsa yang rendah. Menurut UNESCO indeks minat baca Indonesia hanya 0.001 persen atau hanya satu dari 1000 orang Indonesia yang rajin membaca pada tahun 2012 (Kominfo, 2021). Sementara, hasil survei yang dilakukan Program for International Student Assessment (PISA) yang dirilis Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) menyatakan bahwa Indonesia menduduki peringkat ke-62 dari 70 negara pada tahun 2019 (Kemendagri, 2020).
Melihat fenomena ini, ironis bagi Indonesia sebagai negara yang lama merdeka seharusnya bisa membangkitkan tingkat pendidikan yang jauh lebih berkualitas. Indeks minat baca yang rendah akan berdampak dalam memperburuk pembangunan SDM Indonesia. Bahkan, ini dapat membuat daya saing dan pendapatan perkapita yang menurun.
Dalam konteks jumlah dan kelayakan perpustakaan, sekitar puluhan ribu sekolah dari berbagai jenjang pendidikan belum memiliki perpustakaan. Misalkan saja dalam empat tahun terakhir, kurang lebih sebanyak 70.000 sekolah belum memiliki perpustakaan (Perpusnas RI, 2019). Sementara itu, tercatat jumlah perpustakaan di Indonesia dari berbagai jenjang pendidikan sebanyak 164.610, dengan sebaran tertinggi di Pulau Jawa 47.8 % dan Pulau Sumatera 23.5% pada tahun 2019 (Perpusnas RI, 2019). Jelas, angka ini mengindikasikan adanya suatu gap dari sebaran perpustakaan di seluruh wilayah Indonesia.
Tentulah berbagai upaya yang telah dilakukan oleh pemangku kepentingan sudah selaras dengan pengoptimalan perpustakaan di Indonesia. Namun, upaya tersebut harus dispesifikkan untuk menjawab masalah perpustakaan yang masih rendah pengunjungnya, serta minimnya budaya literasi membaca di perpustakaan. Para pengambil kebijakan dituntut agar lebih berbenah dengan mendesain perpustakaan sesuai dengan kebutuhan saat ini. Perubahan yang dilakukan tentu akan menciptakan cost yang besar. Akan tetapi itu menjadi sia-sia jika perpustakaan tidak terpakai dan berdebu tanpa ada pengunjung.
Di era pandemi seperti saat ini, menjadi tantangan besar bagi semua pihak dalam menjaga peran perpustakaan sebagai rumah membaca bagi semua orang. Perpustakaan harus berinovasi agar memudahkan akses layanan. PT harus bergerak cepat untuk berubah dengan melakukan transformasi dalam mengelola perpustakaannya, sehingga pada akhirnya perpustakaan akan menjadi subjek berbagai aktivitas masyarakat. Tujuannya agar dapat mengembangkan potensi dan pengetahuan masyarakat dalam aspek pendidikan.