Karya Muhammad Allif Hardiansyah
Mahasiswa D3 Perpajakan FEB Uhamka
Pandemi COVID-19 di Indonesia, menjadikan aktifitas masyarakat untuk berinteraksi dihentikan dan beralih menggunakan aktivitas daring. Kondisi ini tidaklah mudah untuk Lembaga Pendidikan. Proses pembelajaran dilakukan dengan pembelajaran jarak jauh.
Belajar adalah proses yang dilakukan setiap individu untuk mendapatkan perubahan pengetahuan, keterampilan, tingkah laku dan nilai positif sebagai pengalaman dari berbagai materi yang telah dipelajari. Ketika saya mendengar kata “merdeka belajar” yang diterapkan oleh Kemendikbud, saya merasa ragu-ragu karena mengingat kondisi pendidikan pada saat ini. Apalagi banyak sekolah dan perguruan tinggi ditutup akibat dari adanya COVID-19.
Berbagai kebijakan pemerintah telah dikeluarkan dari pengaturan zona boleh tidaknya sekolah dibuka atau tidak dengan aturan protokol kesehatan yang ketat, termonitor membudayakan pola hidup bersih dan sehat dalam rangka pencegahan dan pengendalian COVID-19.
Hasil dari beragai survei, terkait pembelajaran jarak jauh (PJJ) pada 332 kepala sekolah, 1.368 guru, 2.218 siswa, dan 1.712 orang tua yang dirilis kompas.com, ditemukan tiga masalah utama.
Pertama, sebanyak 56 persen orang tua yang jadi responden mengaku kurang sabar dan jenuh menangani kemampuan dan konsentrasi anak yang duduk di bangku SD/MI dan 34 persen orang tua yang anaknya duduk di bangku SMP/MTs.
Kedua, orang tua kesulitan menjelaskan materi pelajaran ke anak untuk SD/MI (19 persen) dan SMP/MTs (28 persen).
Ketiga, Orang tua kesulitan memahami materi pelajaran anak untuk SD/MI (15 persen) dan SMP/MTs (24 persen).
Data tersebut menunjukan kelangsungan belajar mengajar yang tidak dilakukan di sekolah berpotensi menimbulkan dampak negatif yang berkepanjangan. Pada akhirnya tujuan pendidikan dan fungsi sekolah untuk menciptakan proses pembelajaran dan suasana belajar tidak tercapai.