Karya Adinda Rahayu
Mahasiswa D3 Perpajakan FEB Uhamka
Pandemi telah mengakar sampai ke semua lini dan memang telah menyeret kita pada dimensi yang berbeda. Wabah ini juga sukses memforsir tenaga kesehatan dan praktisi lainnya, dua bahkan tiga kali lipat dari tuntutan biasanya. Tapi, terlepas dari masalah kesehatan, mental health, sanitasi, dan sebagainya, pendidikan juga menjadi hal yang bergeser dengan cergas.
Era disrupsi telah bergerak cepat, namun fenomena Covid-19 melesat lebih cepat dari apa yang diharapkan. Belum ada perencanaan matang untuk tenaga pendidik yang cukup technophobia (ketakutan terhadap teknologi) hingga akhirnya mereka 'dilepas', seiring munculnya virus mematikan ini. Sepertinya beberapa tenaga pendidik masih latah dan resisten terhadap teknologi yang dihadirkan, sementara masih banyak siswa pun mahasiswa yang harus mengelus dada karena jaringan mereka yang tak memadai di pelosok, hingga alasan lainnya.
Dalam perkembangannya, privilese pendidikan cukup dipengaruhi oleh kelas sosial. Dalam kasus ini, harus benar-benar memahami dan berempati dengan situasi perekonomian siswanya yang mungkin tercoret atas beberapa privilese yang ada, entah itu pendidikan atau kelas sosial. Gadget, video conference, Zoom, Google Meet, Schoology mungkin istilah dan kata-kata yang tidak lebih penting dan tidak ada harganya dibanding beras, minyak, dan menu berbuka puasa.
Pandemi ini tentu menjadi refleksi bagi dunia pendidikan untuk kita menggali, sejauh mana kita merespons segala tekanan tanpa sibuk menghujat privilese yang telah perlahan terkikis.