Karya Fanny Amelia
Mahasiswa D3 Perpajakan FEB Uhamka
Merosotnya perekonomi akibat Covid-19 menyebabkan banyak sektor ekonomi menjadi lemah, bahkan beberapa perusahaan sengaja memberhentikan karyawan nya guna menekan pengeluaran dana. Pedagang pun kesusahan melangsungkan kehidupan karena tidak adanya pemasukan setiap harinya. Mengulik jauh kebelakang, perekonomian pun mempengaruhi kelancaran pendidikan. Seperti yang diketahui, pada masa pandemi ini sekolah dan kegiatan lainnya dikerjakan lewat rumah atau Work from home. Tentunya hal tersebut harus ditunjang dengan beberapa aspek, diantaranya : smartphone/laptop, signal dan kuota.
Berbicara mengenai kuota, pada masa ini tentunya orang tua akan sangat merasa terbebani untuk memenuhi kebutuhan akan kuota tersebut, menyadari hal tersebut pemerintah akhirnya membuat keputusan untuk memberikan bantuan kuota yang telah ada sejak tahun 2020. Di tahun 2021 ini bantuan kuota akan kembali diberikan mulai Kamis (11/3/2021). Hal itu disampaikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim lewat konferensi pers di YouTube Kemdikbud RI, pada Senin (1/3/2021). Pemerintah mengajukan anggaran Rp 2,6 triliun untuk bantuan kuota Kemdikbud 2021. Bantuan tersebut diharapkan dapat menunjang aktivitas belajar di rumah. Untuk mencegah agar kuota tidak disalahgunakan, pemerintah pun membagi kuota menjadi dua, yaitu kuota umum dan kuota belajar.
Hal ini menuai pro-kontra, sebab kuota umum yang diberikan sebanyak 5GB dianggap terlalu sedikit, dan kuota belajar yang hanya dapat diakses di aplikasi seperti zoom, zenius, ruang guru tidak selalu digunakan saat melakukan proses belajar. Hal ini membuat kuota belajar terkadang terbuang dengan sia-sia dan mengakibatkan pembengkakan dana. Dengan mengeluarkan dana sebesar Rp 2,6 triliun kebijakan tersebut dianggap tidak efektif karena masyarakat kurang merasakan manfaat dari bantuan kuota tersebut.
Bantuan ini pun tak jarang salah sasaran, untuk mendapatkan kuota gratis pengguna hanya cukup melakukan proses mendaftarkan nomor saja, dan tidak jelas data di lapangan, apakah pengguna tersebut memang layak mendapatkan bantuan kuota atau tidak,faktanya masih banyak peserta didik di Indonesia yang belum memiliki smartphone untuk menunjang proses belajarnya. Kebijakan ini dinilai sangat minim data dan rawan terjadinya pemborosan dana. Bahkan program ini hanya dinilai 65 oleh Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) karena tidak sesuai dengan target awal.
Akan tetapi, walaupun banyak permasalahan yang mengikuti program kuota gratis ini. Kuota gratis yang tepat sasaran tentu sangat membantu para siswa demi kelancaran proses belajar. Kedepannya seleksi bantuan ini harusnya lebih ketat, semisal memberi bukti ketidak mampuan melalui google form atau media lain. Agar dana yang dikeluarkan tidak menjadi sia-sia dan demi menekan kerugian Negara saat pendemi masih ada.