Karya Nabilah Dwi Handayani
(Mahasiswa Farmasi FFS UHAMKA)
Hai, namaku alsya. Izinkan aku menceritakan perjalanan hidupku. Aku sangat ingin berkuliah
di luar negeri dengan gratis. Dan itu sangat mudah jika aku berkuliah di Perguruan Tinggi Negeri,
karena banyak sekali penawaran beasiswa disana. Saat lulus SMP, papaku menawarkan untuk
menyekolahkanku di dua sekolah yang berbeda kota. Pilihan pertama adalah sekolah Swasta di
Semarang, dan pilihan kedua adalah sekolah Islam negeri ditempat tinggalku, yaitu Bogor. Aku
memilih sekolah Swasta Semarang karena memang ingin mengenal lebih dalam perbedaan dan
kebiasaan dari setiap kota.
Aku mulai sekolah dan mengenal banyak teman baru. Dari awal masuk SMA, aku sudah
memiliki target untuk lolos masuk Perguruan Tinggi Negeri melalui jalur SNMPTN atau yang biasa
disebut jalur undangan. Beribu pertanyaan selalu aku lontarkan pada kakak kelas yang lolos melalui
jalur tersebut. Tak henti-henti pula aku mencari informasi dari setiap kampus negeri yang memang
aku dambakan sejak dulu. Tak pernah sekalipun aku izin ke kamar mandi saat pelajaran di kelas
sedang berlangsung. Karena aku takut tertinggal pelajaran walau hanya satu halaman.
Sore itu, sepulang sekolah aku mendengar ibu dan papa berdiskusi mengenai biaya kuliah
kakakku. Biayanya cukup mahal sehingga harus menjual mobil yang biasa papa kendarai untuk
bekerja. Hal itu membuat aku semakin berfikir untuk meringankan beban kedua orangtuaku saat ini
dan dimasa yang akan datang. Keesokannya, aku datang ke ruang kepala sekolah dan mencari tau
apakah ada perlombaan yang berhadiahkan uang. Ibu kepala sekolah sempat menganggapku remeh
karena aku adalah murid pemalu dan hanya lomba puisi tingkat kota yang tersedia. Akhirnya mau
tidak mau aku mendaftarkan diri mengikuti lomba tersebut. Saat itu kedua orangtuaku tau
bahwasannya aku mengikuti lomba puisi, kedua orangtuaku tidak ada yang mendukung karena
mereka khawatir akademikku akan turun.
Aku tetap berusaha menyeimbangkan antara latihan berpuisi dengan belajar akademik.
Impianku masih sama, lolos jalur SNMPTN. Setiap ada acara atau pensi di sekolah, aku tak pernah
ikut berbaur dengan teman-temanku, karena memang aku adalah anak bully-an yang kerjaannya
hanya belajar dan kebetulan aku tidak memiliki fisik yang cantik sehingga tidak jarang teman-teman
ku melihat jijik ke arahku. Tak pernah se hari pun aku tidak berlatih dan belajar. Hingga perlombaan
pun tiba.
Aku tidak merasakan tegang ataupun gugup, karena aku tidak mengenal mereka dan kedua
orangtuaku pun tidak mendukungku . tetapi aku tetap berusaha sebaik mungkin diatas panggung.
Tiba akhirnya pengumuman dan ternyata aku lolos ke tingkat provinsi. Tapi aku sudah tidak
ditempat acara, aku hanya dapat kabar dari kepala sekolahku yang sedang mengajar di sekolah.
Karena saat pengumuman, guru yang mendapingiku mengajakku untuk pulang karena ada hal
penting yang ingin dikerjakan, guruku juga meninggalkanku dipinggiran jalan dan hanya
membekaliku informasi mengenai angkot arah rumahku, sedangkan aku murid baru dari kota yang
berbeda.
Hari demi hari berlalu, bersyukur aku dapat ranking 1 di kelas, dan itu terus terjadi. Terlebih
kedua orangtuaku semakin bangga karena hadiah dari menang lomba berpuisi ku mendapat gratis biaya SPP selama 6 bulan, dimana biaya tersebut per bulannya menginjak hampir 1 juta. Aku juga
semakin rajin mengikuti perlombaan tingkat kota lainnya seperti olimpiade Matematika dan juga
cerdas cermat.
Tiba akhirnya pendaftaran SNMPTN, semua sudah disiapkan secara matang, bahkan jauh
dari pendaftaran. Aku selalu memastikan semua nilai ku naik dan terus konsisten. Segala shunnah ku
kerjakan bahkan sudah terbiasa sejak 10 SMA. Aku juga menyiapkan plan b dan c, yaitu SBMPTN dan
ujian mandiri. Semua universitas negeri di pulau jawa sudah ku daftar. Tapi ternyata tak satupun
kampus menerima keberadaanku. Total 15 kampus menolakku dalam kurun waktu 3 bulan,
sedih..sangat sedih. Semua barang di kamar sudah hancur karena ku lempar, demi melampiasan
sakitnya kegagalan. Sempat menyalahkan Allah atas skenario Nya yang sangat menyakitkan. Seketika
mimpiku ingin mendapatkan beasiswa kuliah di luar negeri hilang.
Ibu menyuruhku untuk mendaftar Perguruan Tinggi Swasta, awalnya aku menolak, tapi ibu
terus memohon agar aku tidak semakin sedih karena akan melihat teman-temanku yang lain sudah
masuk kuliah. Akhirnya aku menerima tawaran ibuku. Aku masih belum bisa menerima kegagalan
ini.
Saat mulai kuliah, tak jarang aku ditunjuk dosen untuk memimpin kelas beliau dan mengikuti
lomba mewakili kampus. Organisasi pun aku terpilih sebagai ketua yang fokus pada hubungan
eksternal kampus. Sampai suatu saat aku menang dalam lomba kejuruanku dan mendapat beasiswa
untuk melanjutkan perkuliahan S2 di Amerika. Kaget, senang, terharu, bersyukur.... tak menyangka
ternyata Allah punya skenario yang sangat amat indah yang selama ini sempat aku ragukan. Aku
masih tak menyangka, aku bisa dapat beasiswa kuliah S2 di Amerika karena aku ditolak Perguruan
Tinggi Negeri. Mungkin jika saat itu aku diterima di Perguruan Tinggi Negeri, aku tidak akan bisa
dapat beasiswa S2 di Amerika. Dari kejadian ini aku sadar, aku memang gagal pada 15 Perguruan
Tinggi Negeri. Tapi bukan berarti aku akan gagal dimasa depanku. Ya, usaha memang tidak pernah
mengkhianati hasil. Tapi jika hasil tidak sesuai rencana, bukan berarti usaha kita kecil. Yakinlah,
bahwa kejutan terindah sudah diatur oleh Yang Maha Adil.
Percayalah, disetiap hitamnya kepahitan pasti ada putih yang selalu berdampingan...