Drs. Mardanis Darja, SH.Wakil Ketua PRM Setusari
Setelah ayat 258, surat al-Baqarah yang menyuruh memperhatikan perdebatan yang terjadi antara Nabi Ibrahim dengan Raja Namrudz bahwa ada keterangan tentang “menghidupkan dan mematikan”, maka pada ayat 259, surat Al-Baqarah ini Allah memperlihatkan hakikat dari menghidupkan dan mematikan itu sebagai berikut dalam ayat :
“Au kallazii marro ‘ala qoryatin wa hiya khowiyatun ‘ala ‘urusyiha, qoola annaa yuhyii haazihil laahu ba’da mautihaa, fa amaatahul loohu miata ‘aamin tsumma ba’atsahu qoola kam labitsta qoola labitstu yaumaa au ba’dho yaumin qoola bal labitsta miata ‘aamin fanzhur ila tho’amika wa syaroobika lam yatasannah, wanzhur ilaa himaarika wa linaj’alaka aayatan linnasi wanzhur ilal ‘izhoomi kaifa nunsyizhuha tsumma naksuuhaa lahman fa lamma tabayyana lahu qoola a’lamu annallooha ‘ala kulli syai in qodiir.”
“Atau seperti orang melewati suatu negeri yang (bangunan-bangunannya) telah roboh hingga menutupi (reruntuhan) atap-atapnya, dia berkata, “Bagaimana Allah menghidupkan kembali (negeri) ini setelah hancur?” Lalu Allah mematikannya (orang itu) selama seratus tahun, kemudian membangkitkannya (menghidupkannya) kembali. Dan Allah bertanya, “Berapa lama engkau tinggal (di sini)?”. Dia (orang itu) menjawab, “Aku tinggal di sini sehari atau setengah hari.” Allah berfirman, “Tidak! Engkau telah tinggal seratus tahun. Lihatlah makanan dan minumanmu yang belum berubah, tetapi lihatlah keledaimu (yang menjadi tulang belulang). Dan agar Kami jadikan engkau tanda kekuasaan Kami bagi manusia. Lihatlah tulang belulang (keledai itu), bagaimana Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami membalutnya dengan daging,” Maka ketika telah nyata kepadanya (bagaimana Allah menghidupkan yang telah mati) , dia pun berkata, “Saya yakin bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
Hakikat menghidupkan dan mematikan ini diperlihatkan Allah kepada seorang Nabi dari Bani Israil, yang berjalan di daerah Baitul Maqdis setelah dihancurkan oleh Bukhtunassar, sehingga kota itu menjadi tinggal reruntuhan dan tidak berpenghuni.
Menurut Ali bin Abi Thalib, Ibnu Jarir, Ibnu Abbas, Hasan dan Qotadah seseorang yang lewat di daerah Baitul Maqdis itu adalah Nabi Uzair. Ia (Nabi Uzair) termenung memikirkan nasib yang menimpa kota suci itu, sehingga ia bertanya, “Bagaimanakah Allah akan menghidupkan (memakmurkan) kembali bangunan yang telah berupa reruntuhan itu?!. Sebab menurut akal pikirannya, tak mungkin kota yang sudah rusak parah itu akan hidup (makmur) kembali. Karena itu Allah memperlihatkan kekuasaan-Nya, dengan mematikannya di tempat itu selama seratus tahun.”
Kemudian, kembali Allah memperlihatkan kekuasaanNya yaitu setelah tujuh puluh tahun sejak Nabi Uzair dimatikan, Allah menghidupkan dan memakmurkan kota Baitul Maqdis bahkan lebih makmur dari semula, penduduknya sempurna lagi serta kaum Bani Israil sama-sama kembali ke sana.
Selanjutnya, pada hari ke seratus tahun dari kematian Nabi Uzair, Allah menghidupkannya kembali. Berarti saat Nabi Uzair dihidupkan itu, kota Baitul Maqdis telah hidup dan makmur selama tiga puluh tahun. Proses kehidupan kembali Nabi Uzair ini, Allah mulai dengan menghidupkan kedua matanya supaya dapat melihat kekuasaan Allah. Kemudian, setelah Allah menghidupkan semua anggota badannya, Allah bertanya kepadanya dengan perantaraan Malaikat.
“Berapa lama anda tinggal di sini?”
Jawabnya, “Aku tinggal di sini hanya sehari atau setengah hari.”
Sebab ia merasa ketika tidur itu pada pagi hari dan ketika bangun saat itu adalah sore hari. Ia mengira, bahwa matahari pada saat membuka matanya masih matahari di saat ia menutup matanya pada hari yang sama padahal waktu telah berlalu selama seratus tahun. Ia kemudian diperintah Allah: “Lihatlah makanan dan minumanmu yang belum juga berubah (tidak rusak).” Ini menunjukkan seakan-akan benar hanya setengah hari. Tetapi kemudian Allah menyuruhnya memperhatikan keadaan keledainya yang sudah mati dan tinggal tulang belulangnya. Dan ini menunjukkan, bahwa keledai itu telah lama tertidur (mati). Semua ini Allah tunjukkan sebagai bukti kepada semua manusia tentang kekuasaan Allah yang dapat menghidupkan dan mematikan.
Menurut As-Saddi, “Pada mulanya Nabi Uzair melihat tulang belulang keledainya berserakan di kanan kirinya. Kemudian Allah mengirimkan angin untuk mengumpulkan tulang-tulang itu, lalu tersusunlah kerangka keledai yang masih berupa tulang. Setelah itu, kerangka tulang tersebut ditutupi dengan daging, urat, otot dan kulit. Kemudian Allah menyuruh malaikat meniup hidung keledai dan seketika itu pula keledai itu bersuara dengan izin Allah.”
Demikianlah hakikat menghidupkan dan mematikan itu adalah sepenuhnya kuasa Allah, tak satupun manusia bisa menandingi kekuasaan-Nya karena “Innal looha ‘ala kulli syai-in qodiir” (“Allah berkuasa atas segala sesuatu”).
Satu hal lagi ungkapan yang penulis garis bawahi yaitu, tatkala Nabi Uzair dihidupkan kembali, Allah bertanya kepadanya dengan perantaraan malaikat:
“Berapa lama anda tinggal di sini?
Jawabnya, “Aku tinggal di sini hanya sehari atau setengah hari”.
Maka hal inilah yang menjadi pemikiran penulis, yaitu “perbandingan jangka waktu”. Nabi Uzair mengira bahwa ia mati baru sehari atau setengah hari padahal telah berlalu waktu “seratus tahun”.
Hal ini menandakan bahwa waktu seratus tahun di dunia hanya sehari atau setengah hari waktu akhirat. Dan ini juga berarti waktu hidup kita didunia ini sangat singkat. Jadi, dalam menjalani hidup kita yang sangat singkat di dunia ini kenapa tidak kita isi dengan beribadah total kepada Allah?
Sesuai dengan firman Allah dalam surat Az-Zariyat, ayat 56. “Wa maa kholaqtul jinna wal insa illaa liya’buduuni”. (“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepadaKu”).
Beribadah di sini adalah “ibadah yang pokok” dan “ibadah yang dibangsakan kepada ibadah”. Ibadah pokok yaitu, seperti yang tercantum dalam rukun Islam yang lima yaitu: Syahadat, sholat, puasa, zakat dan haji. Yang harus kita laksanakan sebaik mungkin sebagai muslim yang baik.
Pertama: Syahadat, harus kita yakini betul bahwa, sungguh Tiada Tuhan selain Allah, artinya kita tidak memperserikat Allah dengan segala sesuatu yaitu tidak melakukan perbuatan syirik dalam bentuk apapun dan kita mengakui bahwa Nabi Muhammad itu adalah Utusan Allah, maka kita jalankan sunnah Nabi dengan segenap kemampuan kita. Tidak mencaci Nabi dan tidak menghina ulama yang mengikuti sunnah nabi sebagai warisatul Ambiyak.
Kedua: Sholat, kita tegakkan sholat sebagai sarana berdialog langsung dengan Allah terutama sholat fardhu dan selalu meningkatkan kebaikannya. Tidak meninggalkan sholat dan melecehkannya.
Ketiga: Puasa, terutama puasa wajib, kita kerjakan dengan pondasi Iman dan penuh dengan perhitungan karena Allah (ihtisaaban). Tidak dengan penampakan hitung-hitungan, artinya mengerjakan puasa karena maksud tertentu bukan karena Allah.
Keempat: zakat. Kita bayarkan zakat apabila harta kita telah sampai pada ukuran satu nisab dan haul satu tahun, berguna buat mensucikan diri si empunya harta dan mensucikan harta itu sendiri. Tidak mengikutkan nafsu setan dengan selalu menumpuk harta tetapi tidak mau mengeluarkan zakatnya.
Kelima: Haji, kita laksanakan haji beribadah karena Allah, bukan karena mengutamakan piknik, kalau kita sudah mampu dalam segala segi yang menunjang. Jangan mencari alasan untuk tidak mau berhaji padahal Allah tahu bahwa kita sudah mempunyai kemampuan untuk itu.
Kemudian, yang dimaksud ibadah yang dibangsakan kepada ibadah yaitu segala profesi ataupun segala perbuatan kita yang didasarkan sunnatullah dan sunnah rasulullah. Umpamanya berbakti kepada kedua orang tua (Birrul waalidaini). Berekonomi menurut syari’ah, berpolitik dengan politik yang Islami (siyaasatul Islaamiyah) dan lain-lain sebagainya di seluruh lini dan bidang apapun yang tengah kita lakoni sesuai syari’ah Islamiyah.
Sekarung kentang dari Tebat Panjang
Jadikan akar buat pengikat.
Kalau direntang ia bisa panjang
Biar dipintal supaya singkat.
Yang benar datang dari Allah, dan yang salah dari saya. Semoga penulis dan para pembaca mendapatkan ampunan Allah SWT.
Aamiiiin Ya Rabbal ‘Alamiin.