(Melinda Rahmawati / Mahasiswa Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP UHAMKA)
Kabarpendidikan.id Telah tiba kita di Bulan April, bulan yang berbahagia bagi para wanita tangguh. Bulan ini menjadi sangat bermakna karena dirayakan sebagai Hari Kartini, tepatnya pada setiap 21 April. Akrab kita kenal dengan Raden Ajeng Kartini, beliau menjadi salah satu tokoh pergerakan wanita yang mendobrak tradisi. Seperti kita ketahui, pada masanya wanita tidak boleh mengenyam pendidikan terlalu tinggi. Bahkan harus segera dinikahkan ketika sudah memasuki usia remaja. Sungguh sangat terbatasnya kebebasan bagi seorang wanita. Hingga sejarah mencatat Kartini tidak berjuang sendiri, hadir pula para pejuang perubahan bagi wanita. Nyaris semuanya memulai perjuangan dari dunia pendidikan. Nyai Walidah mendirikan Frobel (sejenis Taman Kanak-Kanak) dan Volk School (Sekolah Dasar tiga tahun), Raden Dewi Sartika mendirikan Sakolah Kautamaan Isteri di Jawa Barat, hingga Rasuna Said yang menjadi perempuan pertama dalam Parlemen di Indonesia. Nyatanya banyak sekali jejak-jejak sejarah yang dituliskan oleh para wanita.
Ranah perjuangan para wanita memang tidak lepas dari dunia pendidikan. Walaupun ada para pejuang wanita kita yang turut berjasa dalam medan perang. Hal ini tidak lepas karena kondisi keadaan yang mendesak. Jika kita melihat pandangan Kartini, tentu dasar pemikirannya demikian. Jika seorang wanita harus melahirkan dan mendidik anak-anaknya kelak, mengapa wanita dilarang mengenyam pendidikan tinggi yang setara dengan laki-laki? wanita tetaplah wanita, langkahnya tidak akan lebih jauh dari laki-laki. Namun bukan berarti tidak memiliki hak untuk mendapat pendidikan yang setara dengan laki-laki.
Sungguh memperihatinkan jika wanita menjadi sekolah pertama bagi anak-anaknya namun jenjang pendidikan yang ditempuhnya tidak mendukung usahanya tersebut, anak-anak kita adalah generasi penerus kita di masa depan. Tidaklah mungkin kita akan membersamai mereka di masa depan. Waktu terus berjalan dan zaman pun turut berganti, perubahan demi perubahan terus hadir tanpa dapat kita bendung. Kita tidak bisa mendidik anak-anak kita seperti yang terjadi pada zaman yang kita lalui kini, kita harus mendidik anak-anak kita untuk menghadapi zaman yang akan mereka temui.
Einmalig dalam sejarah mampu menjadi cermin bagi kita semua, khususnya wanita modern saat ini. Dilansir dari laman Tirto.id (17 Mei 2018), Pada 27 Oktober 1964, Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta mengangkat Siti Baroroh Baried sebagai Guru Besar Fakultas Sastra di Universitas mereka. Pada usia 39 tahun beliau menjadi Profesor Perempuan Pertama di Indonesia. Sebagai wanita yang aktif dalam organisasi ‘Aisyiyah dan Muhammadiyah, Siti Baroroh Baried tercatat pernah tergabung dalam dalam kepengurusan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat. Baginya, Emansipasi perempuan harus tetap berada di jalur yang benar, tidak melampaui kodrat. Dapat kita artikan bahwa seorang perempuan boleh melakukan sebuah perubahan. Karena zaman yang dihadapi terus berubah dan kita semua harus mampu menyeimbanginya. Tetapi, emansipasi yang dilakukan tidak boleh melangkahi kodrat kita sebagai seorang wanita.
Kini tidak lupa dari ingatan kita sebuah pemberitaan mengenai wanita yang menjadi Rektor termuda di Indonesia. Dilansir dari laman Kumparan.com (6 November 2019), Pada 2 November 2019 Risa Santoso resmi dilantik sebaga Rektor Institut Teknologi dan Bisnis (ITB) Asia Malang. Di usianya yang berumur 27 tahun Risa Santoso tercatat sebagai Rektor Termuda di Indonesia mengalahkan Rektor Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat (UMSB), Riki Saputra. Riki Saputra sendiri resmi dilantik pada umur 36 tahun. Tentu menjadi motivasi bagi para kaum perempuan untuk terus melebarkan pengaruhnya dimasyarakat. Selain menjadi motivasi, turut bermunculan pro dan kontra atas keputusan tersebut. Banyak yang menilai bahwa wanita belum mampu menjadi seorang pemimpin. Atau bahkan wanita yang menjadi pemimpin adalah wanita yang menyalahi kodrat nya. Wanita dimasyarakat dipandang tidak sepatutnya menjadi seorang pemimpin. Sedangkan, wanita dalam keluarganya juga harus mampu memberikan gambaran pemimpin pada anak-anaknya. Pembatasan peran perempuan masih menjadi persoalan menarik di masyarakat.
Bagi para mahasiswa, tentu tidak asing pertanyaan seperti ; ”kapan lulus kuliah?”, ”kapan nikah?”, hal ini menjadi pertanyaan yang meresahkan. Stigma yang berkembang dimasyarakat ialah setelah lulus kuliah Strata 1 (S1) harus menikah, kecuali laki-laki harus bekerja dahulu sebelum menikah. Pembatasan-pembatasan yang menjadi stigma menjadi penyebab lambatnya perkembangan sumber daya manusia di Indonesia. Wanita yang memilih melanjutkan pendidikan ke Pascasarjana Magister atau hingga Doktoral sebelum menikah dianggap sebagai ”perawan tua”. Wanita dibatasi untuk mengembangkan kiprahnya khususnya dalam dunia pendidikan. Cukup lulusan Strata 1 (S1) dan lanjutkan sebagai Ibu Rumah Tangga atau wanita karier yang sudah menikah. Intinya, wanita dilarang keras untuk meluaskan perannya ditengah masyarakat.
Dikutip langsung dari laman tirto.id (18 Agustus 2017);
” ….Pertama, impian perempuan untuk melanjutkan studi tanpa terintervensi urusan rumah tangga tampaknya mesti kalah dengan opini bahwa menikah patut lebih diprioritaskan dibanding studi. Kedua, … bahwa target waktu menikah memiliki tenggat waktu lebih pendek daripada melanjutkan pendidikan. Padahal, banyak kendala lain yang potensial dihadapi begitu perempuan menunda melanjutkan studi, entah perkara tanggung jawab rumah tangga dan anak-anak, kesempatan studi yang tidak senantiasa ada misalnya tawaran beasiswa yang akhirnya dilepaskan lantaran mesti memenuhi ekspektasi pasangan atau keluarga , atau perkara semangat studi yang bisa jadi kian luntur seiring berjalannya waktu. Kalaupun menikah dan melanjutkan studi dibarengi, itu artinya perempuan mesti dua kali lipat bekerja keras untuk menyeimbangkan perannya dalam konteks masyarakat yang mengamini peran gender konvensional. Beban serupa jarang ditemukan pada laki-laki karena mayoritas masyarakat meyakini bahwa wajar bila laki-laki berada di luar rumah, bekerja atau meraih cita-cita setinggi-tingginya, termasuk lewat bersekolah, bukan mengurus persoalan domestik.”
Dalam tulisan ini jelas tergambarkan bahwa wanita masih selalu diidentikan dengan persoalan rumah tangga dan persoalan domestik saja. Pendidikan tinggi dianggap tidak begitu penting bagi seorang wanita karena perannya yang hanya terbatas pada lingkup keluarga saja. Perbedaan gender menjadi alasan utama dari terbatasnya peran wanita. Padahal, peran wanita yang begitu besar dalam keluarga juga memerlukan keilmuan yang baik dan berkembang. Bahkan sebenarnya yang menjadi persoalan krusial dalam pendidikan keluarga adalah ”Bagaimana mendidik seorang anak sesuai pada zamannya ?”. orang tua sudah memasuki usia lanjut saat hidup di zaman ketika anaknya beranjak dewasa, seorang anak tidak hidup disaat orang tua nya memasuki usia menjelang dewasa. Persoalan ini yang harus menjadi perhatian kita semua ketika berbicara pro dan kontra atas emansipasi wanita.
Raden Ajeng Kartini telah menuliskan dalam suratnya pada Nona E.H. Zeehandelaar, 11 Oktober 1901 (dikutip langsung dari buku Habis Gelap Terbitlah Terang, 2018) :
”ketika urusan rumah tangga dibebankan kepada perempuan, maka sudah menjadi keharusan untuk mengajarkannya terlebih dahulu kepada perempuan untuk berhemat apabila pemerintah ingin melihat rakyatnya hemat. Apa gunanya orang laki-laki belajar berhemat jika perempuan sebagai pengatur rumah tangga tidak tahu nilai uang ?”.
Tentu kalimat ini hanya segelintir dari sekian banyak keluh kesah Kartini dalam surat-suratnya pada rekan-rekannya di Belanda. Setidaknya, jika seorang wanita akan melanjutkan untuk hidup berumah tangga, tentu ia harus memiliki semua keterampilan dan kecakapan yang dibutuhkan nantinya. Wanita tidak hanya harus patuh pada suami, namun juga haru mampu mendidik anak-anaknya kelak. Pada titik ini tingkat pendidikan menjadi satu hal penting untuk diperhatikan. Wanita yang berpendidikan tinggi tentu akan mampu membimbing dan mengarahkan anak-anaknya serta memberikan mereka peluang untuk mengenyam pendidikan yang tinggi pula. Semua itu bukanlah hal yang mudah, namun dengan pendidikan yang tinggi semua dapat menjadi ringan untuk dijalani.
Dilansir dari laman IDN Times (12 Juli 2019), setidaknya terdapat 6 keuntungan jika wanita memiliki pendidikan yang tinggi. Keuntungannya antara lain : menjadi guru pertama bagi anak-anaknya, lebih terampil dalam mengurus rumah tangga nya, mandiri secara mental, memiliki bekal tersendiri bagi dirinya, tidak mudah dibodohi, dan dapat berkarier sesuai dengan minatnya. Zaman sudah menuntut wanita untuk mampu berdikari dan tangguh tanpa menghilangkan keanggunannya sebagai seorang wanita. Banyak sekali kesempatan bagi wanita untuk meluaskan pengaruhnya ditengah masyarakat, namun dalam dunia pendidikan nyatanya masih sedikit wanita yang melanjutkan jenjang pendidikannya hingga tingkatan tertinggi. Hadirnya stigma ”kalau terlalu tinggi pendidikannya, sulit mendapat suami” menjadi rintangan umum yang ditemui dan menjadi alasan yang mendominasi alasan wanita tidak melajutkan pendidikannya. Pertanyaan refleksi untuk kita semua, hingga kapan wanita harus terkurung mitos dan mengesampingkan tuntutan zaman ?. hanya masing-masing dari kita yang mampu menjawabnya.