(Erlinda Tri Kusumawati / Mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris FKIP UHAMKA)
Kabarpendidikan.id Pendidikan adalah sebuah usaha yang dilakukan secara sadar dan terencana untuk mengembangkan potensi diri dan keterampilan. Adanya pendidikan membuat manusia mengerti suatu hal dan dapat berpikir secara kritis. Peserta didik pun diharapkan dapat menyelesaikan persoalan-persoalan kehidupan melalui pendidikan. Pastinya, dengan ilmu segala masalah yang dihadapi manusia akan lebih mudah terselesaikan. Dengan kata lain, pendidikan dan ilmu pengetahuan sangat penting dan diperlukan oleh manusia agar terciptanya peradaban manusia yang lebih baik.
Dalam hal ini, negara sebagai institusi memiliki tanggung jawab untuk menciptakan usaha agar seluruh elemen masyarakat dapat mengenyam pendidikan dengan sejahtera tanpa adanya halangan. Dengan harapan pendidikan dapat membawa negara dan masyarakat Indonesia menjadi maju dan sejahtera. Hal ini dapat dilihat pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional BAB II pasal 3 sebagai berikut:
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Namun semua tujuan diatas yang diharapkan negara untuk pendidikan tidaklah bisa digapai tanpa adanya kerja sama dari seluruh rakyat Indonesia. Khususnya masyarakat dengan pemerintahan. Masyarakat pada dasarnya cenderung berpartisipasi dalam pembangunan pendidikan, tetapi disisi lain tidak mudah untuk mengajak masyarakat berpartisipasi. Hambatan yang dialami oleh sekolah untuk mengajak partisipasi masyarakat dalam perbaikan mutu pendidikan membuktikan, belum sepenuhnya disadari sebagai tanggung jawab bersama. Realitas tersebut menguatkan asumsi sepenuhnya bahwa partisipasi tidak mudah diwujudkan, karena ada hambatan yang bersumber dari pemerintah dan masyarakat.
Dari pihak pemerintah, faktor yang menghambat partisipasi masyarakat dalam pendidikan dapat berupa :
1. Lemahnya komitmen politik para pengambil keputusan didaerah untuk secara sungguh-sungguh melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan yang menyangkut pelayanan publik.
2. Lemahnya dukungan SDM yang dapat diandalkan untuk menciptakan strategi peningkatan partisipasi masyarakat dalam pelayanan publik.
3. Rendahnya kemampuan lembaga legislatif dalam merealisasikan kepentingan masyarakat.
4. Lemahnya dukungan angggaran, karena kegiatan partisipasi publik sering kali hanya dilihat sebagai proyek, maka pemerintah tidak menjalankan dana pendidikan secara berkelanjutan.
Sedangkan dari pihak masyarakat, faktor penghambat partisipasi dalam pendidikan muncul karena beberapa hal, antara lain :
1. Budaya paternalism yang dianut oleh masyarakat menyulitkan untuk melakukan diskusi secara terbuka.
2. Apatisme karena selama ini masyarakat jarang dilibatkan dalam pembuatan keputusan oleh pemerintah.
3. Tidak adanya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah.
Oleh karena itu, perlu adanya pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan sehingga semua lapisan masyarakat sekarang ini sudah bisa mengakses pendidikan, bukan hanya dari golongan masyarakat saja yang bisa mengakses pendidikan. Pemerataan pendidikan diharapkan dapat memberikan kesempatan yang sama dalam memperoleh pendidikan bagi semua usia sekolah. Strategi ini perlu mendapat prioritas karena ternyata banyak anak-anak di Indonesia, terutama di pedesaan masih banyak yang belum mengenyam pendidikan, terutama di tingkat SLTP.
Pemerataan kesempatan berarti setiap warga negara memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 pasal 31 yang berbunyi” Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran”. Begitu pula dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional yang tidak membedakan warga negara menurut jenis kelamin, status sosial ekonomi, agama, dan lokasi geografis.