(Ilham Jamaludin/Mahasiswa D3 Perpajakan FEB UHAMKA)
Kabarpendidikan.id Buku adalah gudang ilmu, dan membaca adalah
kuncinya. Begitulah pepatah mengungkapkan betapa pentingnya buku dalam
meningkatkan ilmu pengetahuan. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
sangat pesat ini menuntut manusia untuk rajin membaca dan memperbanyak
informasi. Namun demikian, maraknya buku bajakan di Indonesia masih menjadi
masalah besar yang harus segera diselesaikan.
Banyak faktor
yang memengaruhi peredaran buku bajakan di Indonesia masih sulit dikendalikan.
Harga buku bajakan yang jauh lebih murah menjadi faktor yang sangat berpengaruh
terhadap masalah ini. Selain itu, peredaran buku asli juga masih terbatas.
Apalagi jika pencetakan buku itu diberhentikan, maka peluang untuk membeli buku
bajakan semakin besar.
Pasar utama dari
penjualan buku adalah lingkungan perguruan tinggi. Mahasiswa dan dosen tentu
memiliki kebutuhan yang besar terhadap buku. Dengan statusnya sebagai kaum
akademisi, ternyata masih banyak dari mereka yang malah menjadi konsumen dari
buku ilegal itu. Padahal seharusnya mereka dapat menjadi pionir untuk
masyarakat umum.
Dampak yang
timbul dari pelanggaran ini bukan merupakan hal sepele. Selain karena
pembajakan buku termasuk dalam pelanggaran hak cipta, masalah ini juga
berpengaruh terhadap karakter bangsa. Sebagai makhluk yang memiliki hati
nurani, sudah sepantasnya kita menghargai karya cipta orang lain. Ketika kita
lebih memilih buku bajakan daripada buku yang asli, maka kita sudah menutup
pintu royalti pemilik hak cipta. Bukankah itu melanggar nilai-nilai
kemanusiaan? Apalagi pendapatan yang diterima dari royalti itu dapat dikenai
pajak, bukankah pelanggaran ini juga menghambat pendapatan negara?
Sudah saatnya
kita sadar akan hal ini. Harga murah dan kemudahan dalam mendapatkan buku
memang terlihat menguntungkan, tetapi besarnya dampak buruk yang timbul patut
kita pertimbangkan. Mari hentikan pelanggaran ini. Jika masih ada buku asli,
kenapa harus buku bajakan?