Kabarpendidikan.id Pandemi Covid-19 yang melanda dunia dalam enam bulan terakhir berdampak pada perubahan aktivitas pengajaran. Tak terkecuali negara ini, kegiatan belajar online pada pertengahan Maret lalu telah menjadi pilihan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk mencegah penyebaran virus Covid-19.
Praktik
pendidikan online (pembelajaran online) dilakukan pada semua jenjang pendidikan
mulai dari Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas
hingga Perguruan Tinggi. Kegiatan belajar di kelas tidak lagi sesering pendidik
(guru dan dosen). Langkah-langkah yang benar, tetapi tidak dipersiapkan secara
memadai.
Akibatnya banyak tenaga pendidik gagap
menghadapi perubahan drastis ini. Sementara itu praktis tidak ada cara lain
untuk meminimalisir penyebaran Covid-19 selain dengan membatasi perjumpaan
manusia dalam jumlah yang banyak.
Pemerintah pun membatasi pertemuan, maksimal
30-40 orang. Itupun dengan protokol kesehatan yang sangat ketat: penggunaan
masker, menjaga jarak minimal 1,5 meter, mencuci tangan memakai sabun.
Hal ini didasarkan pada pendapat para
ahli kesehatan di seluruh dunia setelah mereka melakukan riset bagaimana
memutus mata rantai Covid-19.
Kegagapan
Pendidikan Daring
Arena sekolah, sebagai ruang belajar
mengajar antara murid dengan guru, mahasiswa dengan dosen pun pada akhirnya
dilarang dilakukan. Sebagai gantinya yakni pembelajaran secara daring.
Perubahan sangat cepat ini tanpa
diiringi persiapan yang memadai sebelumnya, akibatnya banyak kegagapan
menghadapinya. Hal ini pun diakui oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem
Makarim.
Nadiem berpendapat, "kita harus
jujur proses adaptasi ke online learning juga sangat sulit. Paling tidak masih
ada pembelajaran terjadi daripada sama sekali tidak ada pembelajaran”.
Statemen pelipur lara, ketimbang langkah
cepat menyiapkan infrastruktur. Sayangnya hingga memasuki tahun ajaran baru ini
pun belum nampak gerak revolusioner dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
maupun jajaran kementeriannya dalam menyiapkan sarana-prasarana pembelajaran
daring.
Pemberian kuota internet, ini yang
penulis dengar dari sekolah-sekolah, itupun yang di kota-kota besar. Sementara
jika melongok ke daerah, masih jauh panggang dari api.
Pembelajaran yang dipaksakan, demikian
sepintas terlihat. Pilihan sulit di tengah situasi yang tidak menentu pula.
Covid-19 sebagai makhluk hidup yang
berupa mikroorganisme ini harus diputus mata rantainya, akibat penularannya
yang dilakukan melalui perjumpaan antarmanusia. Maka perlu dilakukan
langkah-langkah strategis taktis dalam menghadapinya.
Pembelajaran daring yang belum
dipersiapkan secara matang ini tentu berdampak terhadap metode pembelajaran
yang dilakukan oleh para tenaga pendidik. Demikian pula penerimaan atas
pembelajaran dari para peserta didik pun sangat beragam, seringkali tidak
memahami materi maupun penyampaian dari guru.
Terlebih orang tua atau wali muridnya.
Lagi-lagi mengalami gegar pembelajaran yang luar biasa. Orang tua yang sibuk
bekerja dengan terpaksa harus mendampingi anak-anak mereka pada saat jam
pembelajaran daring.
Anak-anak yang biasanya di sekolah,
berubah seketika untuk melakukan aktifitas pembelajaran di rumah. Untuk level
SMP, SMA, hingga perguruan tinggi barangkali tidak terlalu mengkhawatirkan.
Namun untuk level SD bahkan SMP, tidak
sedikit orang tua siswa yang mengeluh akibat pembelajaran daring ini.
Sekurang-kurangnya keluhan ini yang dialami oleh teman-teman penulis.
Tidak sedikit guru yang sekadar
memberikan tugas kepada para muridnya, melalui aplikasi pesan grup daring
yakniaplikasi whatsapp. Guru membuat grup dengan para orang tua/wali murid
untuk update apa saja yang perlu dilakukan tiap harinya selama proses pembelajaran.
Lalu pada sore hari guru akan mengoreksi
dan mengabsen siapa murid yang tidak atau belum mengumpulkan tugas yang
diberikan oleh guru.
Gegar
Teknologi Digital untuk
Pembelajaran Daring
Hemat penulis metode ini memiliki banyak
kelemahan karena aplikasi pesan daring dari aplikasi whatsapp ini sesungguhnya
bukan medium untuk mendukung aktifitas pembelajaran.
Repotnya, tidak sedikit para guru yang
memahami cukup menggunakan aplikasi whatsapp untuk mendukung aktifitas
pembelajaran.
Apakah salah menggunakan aplikasi pesan
daring tersebut? Memang bukan benar salah, namun tepatkah penggunaan aplikasi
pesan daring ini sebagai medium pembelajaran di saat krisis Covid-19.
Untuk sesekali digunakan barangkali
tidak masalah, namun jika digunakan setiap hari dari Senin-Jumat selama
berbulan-bulan maka akan berdampak tidak sehat bagi pembelajaran itu sendiri.
Cerita dari ponakan penulis sendiri yang
sekolah di SMP dan SMA negeri terfavorit di kota gudeg, ternyata hanya hitungan
jari saja yang gurunya memiliki kemampuan beradaptasi dengan pendidikan daring
ini.
Adapun para guru yang dapat diandalkan
yaitu mereka yang berada di usia milenial, kelahiran di atas tahun 1981-an.
Kelompok guru ini sangat adaptif dan cepat mengikuti perubahan dan semangat
pembelajaran daring di masa adaptasi kebiasaan baru ini.
Aplikasi pesan daring sesungguhnya
adalah medium yang sangat privat, untuk saling bertukar informasi satu dengan
yang lainnya. Apapun bidangnya. Bukan didesain sebagai tools untuk aktifitas
pembelajaran yang masif antara guru dengan para muridnya.
Belakangan ramai digunakan aplikasi
untuk mendukung pembelajaran dengan menggunakan zoom yang paling populer,
selain juga google classroom. Dapat dilakukan secara interaktif hingga ratusan
bahkan ribuan orang dalam sekali aktifitas.
Problemnya adalah tidak semua orang tua
siswa kita memiliki kemampuan untuk memiliki perangkat laptop atau smartphone
yang mendukung untuk menginstall aplikasi zoom ke piranti mereka.
Membangun
Ruh Pendidikan Daring
Di masa adaptasi kebiasaan baru masa
Covid-19 ini, hemat saya dapat dijadikan momentum untuk kebangkitan pendidikan
kita sekiranya seluruh pemangku kepentingan pendidikan di negeri ini saling
bergotong-royong. Menanggalkan egoisme sektoral antarkementerian.
Presiden Jokowi selalu menekankan
kolaborasi, gotong-royong di lapangan, namun sayangnya instruksi ini masih
samar-samar dalam praksisnya.
Seyogyanya ajaran Ki Hadjar Dewantara
tentang Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani ini
kita praktikkan dalam pembelajaran kita di manapun. Di depan memberikan
teladan, di tengah memberikan semangat, di belakang memberikan dorongan.
Tugas mencerdaskan dan membuat bangsa
ini berkarakter itu bukan hanya Kementerian Pendidikan dan Kebuyaaan, apalagi
di masa Covid-19.
Masalah koneksi internet semestinya
menjadi domain Kementerian Komunikasi dan Informasi, lalu masalah kesehatan
jelas berada di koordinasi Kementerian Kesehatan.
Sekiranya tiga kementerian saling
bahu-membahu mempersiapkan infrastrukturnya maka tidak ada yang mustahil
membangun kualitas intelektualitas peserta didik yang tetap sehat di masa
adaptasi kebiasaan baru era Covid-19 serta didukung jaringan internet yang
selalu stabil.
Praktik pendidikan di era digital
memerlukan inovasi dan kreasi yang terus-menerus sehingga guru maupun anak
didik tidak mudah mengalami kejenuhan dan kebosanan.
Pun jangan dimaknai pembelajaran daring
sekadar memberikan sekian soal kepada murid untuk menjawabnya. Kalau ini yang
terjadi maka pembelajaran yang membebaskan dan berkarakter akan berhenti di
slogan tanpa pernah diketahui spirit di dalamnya.
Oleh karena itu belajar sesungguhnya
tidak pernah berhenti sejak dari dalam kandungan hingga ke liang lahat.
(Rachmi Rahmalia/ Mahasiswa PGSD Uhamka)