Kabarpendidikan.id Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim mendorong pemerintah daerah (pemda) di daerah terluar, terdepan, dan tertinggal (3T) untuk segera melakukan pembelajaran tatap muka (PTM). Ini dilakukan sebagai langkah mengurangi kehilangan kesempatan belajar siswa atau loss of learning akibat pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang digelar selama pandemi.
Retno Listyarti selaku Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia(KPAI) Bidang Pendidikan, mengatakan, untuk wilayah seperti Jawa-Bali, KPAI merekomendasikan agar PJJ tetap dilaksanakan demi keselamatan semua warga sekolah. Sebab, hak hidup nomor 1, hak sehat nomor 2, dan hak atas pendidikan nomor 3.
“Kalau anak masih sehat dan masih hidup, maka ketertinggalan pelajaran dapat kita kejar nanti setelah pandemi dapat dikendalikan,”kata Retno, Minggu (24/1/2021).
Retno menyebutkan, dari beberapa survei, memang efektivitas PJJ hanya 30-50% saja. Hal ini terjadi karena beberapa faktor, di antaranya adalah disparitas digital yang lebar, sehingga anak keluarga kaya lebih terlayani PJJ daring dibandingkan anak-anak dari keluarga menengah ke bawah. Faktor lain adalah kualitas guru yang rendah dan gagal teknologi (gaptek) atas aplikasi daring.
Menurut Retno, hal ini membuat PJJ berjalan monoton dan menjenuhkan peserta didik. Namun, di masa pandemi banyak guru yang kemudian belajar dan mencoba mengadaptasi diri dengan kondisi saat ini, termasuk adanya guru kunjung.
“Semua adalah upaya-upaya guru yang patut diapresiasi. Awalnya para guru hanya memindahkan belajar di kelas ke rumah. Tapi seiring waktu, sudah mulai banyak yang berubah,” ujarnya.
Berdasarkan hasil pengawasan dari mitra KPAI di daerah, banyak sekali pulau-pulau kecil dan terluar yang sejak Maret 2020 tidak menjalankan PTM. Bahkan mayoritas pulau-pulau itu juga tidak bisa mengikuti PJJ karena berbagai keterbatasan dan kendala daring.
Padahal, kasus Covid-19 di wilayah-wilayah seperti ini sangat minim bahkan nyaris tidak ada.
“Kebijakan buka sekolah tatap muka di wilayah 3T dan pulau terluar dapat dijadikan pertimbangan, dengan ketentuan kasus Covid-19 sudah tidak ada selama dua minggu terakhir, sekolah siap dengan infrastruktur adaptasi kebiasaan baru (AKB) di satuan pendidikan, dan sekolah memiliki protokol AKB yang sudah disosialisasi serta diuji coba ke warga sekolah,” jelasnya.
Retno mengungkapkan, ketika PJJ dengan daring sulit diterapkan di wilayah 3T dan pulau terluar, maka demi bisa melakukan pemenuhan hak pembelajaran dan pendidikan anak-anak, maka membuka sekolah menjadi pilihan yang paling mungkin, tentu dengan mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi anak. (FHA)