Kabarpendidikan.id Tidak terasa kita sudah berada di penghujung tahun 2020, dengan kondisi yang masih berselimut pandemi kita bertahan dan berusaha sejauh ini. Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Transisi yang berlaku khususnya di DKI Jakarta sejak 5 Juni 2020 lalu, selalu memiliki grafik positive rates yang naik-turun. Hal ini tentu masih sangat mengkhawatirkan bagi kita semua jika berbicara tentang akhir dari masa pandemi ini. Sejak Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Transisi dan sempat terjadi “penarikan rem darurat” lalu kembali lagi pada tingkat transisi, masyarakat di Jakarta khususnya sudah terbiasa dengan skema yang telaj dijalankan selama lebih dari 7 bulan ini (kompas.com, 11 September 2020). Walaupun demikian, keterbiasaan ini tidak sepenuhnya mempengaruhi angka grafik positive rates pada angka yang diharapkan agar masyarakat dapat memasuki masa kenormalan baru secara menyeluruh. Angka grafik positive rates di Jakarta yang masih berkisar antara 8% - 10% per minggu tentu memberikan gambaran evaluasi yang terus berganti.
Dilansir dari laman covid.go.id (19 November 2020), berdasarkan Surat Edaran Mendagri No.440/5184/SJ pemerintah pusat membentuk satgas bidang perubahan perilaku yang berada dalam koordinasi satgas covid-19 nasional untuk mempercepat perubahan perilaku ditengah masyarakat. Tugas pokok satgas perilaku tidak hanya itu saja, satgas bidang perubahan perilaku juga memiliki tugas yakni untuk membantu menekan masalah penularan virus covid-19 ini melalui kampanye di berbagai media dan pihak yang dapat menggerakannya. Hasil dari penggerakkan para duta perilaku sudah mulai tampak saat ini. Melalui tagar #IngatPesanIbu, #PakaiMasker, #JagaJarak, #JagaJarakDariKerumunan, #CuciTangan, #CuciTanganPakaiSabun semakin banyak masyarakat yang mematuhi protokol kesehatan yang telah ditetapkan. Seiring terus digencarkannya pengawasan terhadap pelaksanaan protokol kesehatan di tempat umum, kesiapan masyarakat pada sebuah kenormalan baru setelah bencana nasional Pandemi COVID-19 ini dinyatakan mereda.
Kita akan bersama-sama mengakhiri tahun 2020 ini dengan cara yang berbeda dan belum pernah dilakukan sebelumnya. Serta, tahun 2021 nanti adalah tahun yang masih memiliki banyak sekali pertanyaan. Pemerintah telah menyiapkan atau mengesahkan beberapa skema baru yang akan dijalankan pada tahun 2021 nanti. Skema yang dirancang tidak hanya pada segi kesehatan masyarakat saja, namun juga dalam dunia pendidikan. Kita tentu sudah mengetahui adanya perubahan kebijakan baru dalam dunia pendidikan Indonesia, diantaranya yang kontroversial adalah perubahan Ujian Nasional berbasis Komputer (UNBK) menjadi Assesment Kompetensi Minimum (AKM) untuk tingkat sekolah dasar dan menengah serta Kampus Merdeka untuk tingkat perguruan tinggi. Hingga saat ini, seluruh pihak yang terlibat saling berkoordinasi dan saling menyiapkan segala yang diperlukan untuk kelancaran pelaksanaan kebijakan tersebut. Harapan dari pelakasanaan AKM dan Kampus Merdeka ini adalah untuk memerdekakan siswa dari penyeragaman kompetensi dan mendorong para siswa dan mahasiswa untuk memiliki kompetensi yang maksimal dalam bidang yang ditekuninya.
Dilansir dari laman edukasi.kompas.com (26 Oktober 2020), dengan Assesment Kompetensi Minimum (AKM) dan Survei Karakter pada siswa calon lulusan dari sekolah dasar dan menengah. Pada tingkat sekolah dasar dan menengah memiliki keterampilan yang lebih kompleks dengan persoalan ditengah masyarakat. Selain itu, melalui AKM juga memberikan pemetaan mutu Pendidikan pada seluruh jenjang pendidikan serta program penyetaraan pendidikan baik di jenjang dasar maupun menengah. Terdapat 2 kompetensi utama yang dinilai dalam AKM ini yakni; literasi membaca dan numerasi. Kompetensi bukan bermaksud untuk mengesampingkan beragam pengetahuan yang selama ini telah diajarka pada siswa. Namun, kompetensi ini lebih menekankan pada dimilikinya keterampilan berfikir logis dan sistematis, penalaran dengan konsep atau pengetahuan yang telah dipelajari. Serta kemampuan dalam memilah dan mengolah informasi yang telah didapatnya dari berbagai sumber. Kemampuan ini memang sangat dibutuhkan dalam arus revolusi 5.0. Kecerdasan buatan yang muncul membuat sebuah perubahan yang sangat signifikan, serta dengan sifatnya yang sudah kompleks membuat keterampilan yang lebih menjurus pada permasalahan di masyarakat. Sebabnya AKM ini menjadi salah satu resolusi dalam dunia pendidikan Indonesia.
Lain halnya untuk Pendidikan Tinggi, terdapat sebuah kebijakan baru yang disebut dengan Merdeka Belajar: Kampus Merdeka. Dilansir dari laman kemdikbud.go.id (12 Januari 2020), Mendikbud dalam rapat koordinasi kebijakan perguruan tinggi nya menyampaikan bahwa kebijakan ini adalah kelanjutan dari konsep merdeka belajar. Kebijakan ini memberikan hak kepada para mahasiswa untuk mengambil mata kuliah diluar program studi yang dijalaninya secara sukarela dengan ketentuan tidak lebih dari 1 semester yang ditempuh. Serta, dapat pula mengambil Sistem Kredit Semester (SKS) yang berada diluar kampusnya tidak lebih dari atau setara dengan 40 SKS perkuliahan. Namun, kebijakan ini belum diberlakukan pada program studi kesehatan. Didalam kebijakan ini, arti “jam kegiatan” tidak lagi hanya berada didalam kelas seperti sebelumnya. Namun mahasiswa akan lebih digerakan pada kegiatan praktek kerja (magang), pertukaran pelajar, pengabdian masyarakat, wirausaha, riset dan studi independent, serta kegiatan mengajar di pedalaman yang terpencil. Kebijakan ini tentu mengharapkan para mahasiswa tidak hanya sekedar menjalankan perkuliahan didalam kelas saja, melainkan juga memiliki pengalaman kerja yang nyata dan kemampuan lain yang dapat menunjang setelah lulus nanti. Banyak kita temui lulusan baru yang masih menganggur karena minim kemampuan yang dibutuhkan dalam dunia kerja. Akhirnya, mereka turun menambah daftar panjang pengangguran di Indonesia dan tersingkir dari perasingan di pasar kerja. Dunia kerja saat ini tidak hanya melihat dari capaian dan tingkatan pendidikan yang ditempuh, namun juga melihat seberapa banyak pengalaman kerja yang dimiliki oleh pelamar untuk menempati posisi kerja yang tersedia.
Kita saat ini sudah tidak lagi berlari dalam koridor Revolusi Industri 4.0. Kini, kita dipaksa untuk berlari dalam situasi bencana pandemi dalam koridor Revolusi Industri 5.0. Tentu terasa sangat berat sekali bagi berbagai pihak karena revolusi industri 4.0 saja belum selesai dan mengubah berbagai aspek kehidupan manusia secara umum, khususnya masyarakat Indonesia. Tujuan dari hadirnya kebijakan AKM dan Kampus merdeka ini sebenarnya sangat sederhana namun sifatnya yang sangat kompleks menyebabkan kadang usaha yang diperlukan tidaklah sedikit. Tujuannya yakni, untuk mengukur dan meningkatkan mutu pendidkan melalui peningkatan kompetensi lulusan yang mampu menjawab setiap tantangan dizamannya. Dengan kecerdasan buatan yang menjadi pusat dari revolusi industri 5.0 membuat seluruh aspek kehidupan akan mengalami perubahan secara drastis. Seluruh angkatan produktif khususnya akan terus dipacu untuk mengubah semuanya dengan kecerdasan buatan yang dimiliki. Manusia nanti tidak perlu lagi banyak melakukan aktifitas, hampir semua aktifitas nanti akan dijalankan oleh produk-produk kecerdasan buatan. Sebabnya, dalam ranah pendidikan khususnya harus sudah siap dalam menghadapi segala kemungkinan perubahan yang akan terjadi. Pendidikan menjadi garda terdepan dalam menghadapi kencangnya arus revolusi industri 5.0. Jika ranah pendidikan tidak membuat sebuah resolusi yang sepadan dengan prediksi perubahan yang akan dialami masyarakat luas, maka masyarakat kita akan berlari dengan keseimbangan yang tidak stabil dalam koridor revolusi tersebut. Perubahan demi perubahan terus dilakukan agar kita semua mampu berlari secara seimbang dalam koridor tersebut.
(Melinda Rahmawati/Mahasiswa Pendidikan Sejarah FKIP UHAMKA)