Kabarpendidikan.id PJJ masih menjadi problem besar bagi warga pendidikan ketika sistem ini menjadi satu-satunya sistem yang bisa diandalkan selama masa pandemi Covid-19. Pada faktanya dalam realisasi kebijakan tersebut masih terdapat polemik bagi peserta didik, pendidik, tak terkecuali orang tua.
Masih hangat
diingatan kita kasus kematian siswa SMA di Gowa serta angka terakhir menunjukan
terdapat 3 siswa peserta didik yang terpaksa meregang nyawa akibat tertekan
oleh kebijakan PJJ.
Pertama adalah
anak SD yang meregang nyawa ditangan ibu kandungnya sendiri akibat tidak
memahami pembelajaran yang disampaikan. Kemudian, terjadi di Gowa, siswi SMA
memutuskan mengakhiri hidupnya sendiri dengan menenggak racun yang diduga
akibat tugas yang menumpuk serta jaringan internet yang terbatas. Ketiga adalah
pelajar SMP kelas 9 yang tewas gantung diri, dikarenakan tugas menumpuk
ditambah surat peringatan yang datang dari pihak sekolah.
Belum usai
permasalahan PJJ, baru-baru ini muncul Assessment Nasional (AN) yang bakal
menjadi standar kelulusan bagi peserta didik. Merespon hal tersebut Koordinator
Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim merasa AN terkesan
terlalu dipaksakan.
’’Anak-anak kita
sudah terbebani secara psikologis selama PJJ, tahu-tahu mereka harus menjalani
Asesmen Nasional,’’ ucap dia (1/11).
Menurutnya, hal
tersebut tidak adil, terlebih masih banyak yang belum mengetahui apa itu AN.
Sebab, masih sangat minumnya sosialisasi yang disampaikan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menjadi dasar bahwa AN ini terkesan
dipaksakan.
“Ini
kan tidak adil bagi anak, orang tua dan guru. Jadi lebih bijak kalau di undur, karena bulannya
(pelaksanaan AN) juga mempengaruhi persepsi (AN sama dengan UN) itu. Jadi
jangan hanya sosialisasinya berupa konten pdf, ppt, YouTube atau Instagram,”
imbuhnya.
Orang tua mesti
diberikan pemahaman yang utuh, Mendikbud Nadiem Makarim diminta untuk mengintruksikan
jajarannya dalam mensosialisasikan secara pasti dan berkala kepada dinas
pendidikan (disdik) daerah.
“Agar mereka menggunakan perangkat-perangkatnya di daerah, kepada orang tua, siswa, komite sekolah dan guru. Jadi jangan seolah-olah lepas tangan dengan membuat pdf, ppt, YouTube berisi informasi, selesai perkara. Tidak semudah itu, karena Indonesia itu luas,” tegas dia. (LBM)