Kabarpendidikan.id Pemerataan pendidikan tak terbatas hanya pada kesempatan meraih akses untung jenjang pendidikan, namun pemerataan pendidikan juga termasuk didalamnya setiap warga pendidikan berhak mendapatkan akses pendidikan yang layak dan berkualitas.
Namun nyatanya hingga hari ini pemerataan tersebut masihlah hanya sekedar utopia para pendiri bangsa, dimana realitanya kualitas pendidikan malah membentuk jurang disparitas antar warga pendidikan.
Hal tersebut dapat dibuktikan dari angka rata-rata Indeks Pembangunan Manusia yang masih lah berbeda-beda ditiap daerah.
Hal ini semakin diperparah ketika pandemi melanda bumi pertiwi, PJJ seolang menjadi boomerang bagi pemerataan itu sendiri, dimana status sosial ekonomi semakin terlihat menjadi alat bagi kemampuan warga pendidikan dalam menyerap ilmu pengetahuan. Kuota yang besar, WIFI, Handphone yang canggih seolah menjadi perangkat wajib yang harus dimiliki warga pendidikan saat ini, notabene semua perangkat itu wajib hanya bisa didapat dengan pengorbanan biaya yang tak sedikit.
Sejalan dengan analisa tersebut pemerhati pendidikan Ki Darmaningtyas mengungkap pelajar dari kelompok ekonomi menengah-bawah jadi pihak yang paling dirugikan oleh skema pembelajaran di masa pandemi.
“Masuk sektor pendidikan misalnya, yang diterapkan selama pandemi. Yang paling dirugikan sebetulnya adalah kelompok menengah bawah,” tuturnya dalam diskusi virtual Prasasti 2020, Sabtu (31/10/2020).
Pasalnya mereka yang berada di lapisan masyarakat dengan ekonomi lemah akan selalu menjadi korban, lantaran nihilnya sarana dan prasarana pembelajaran jarak jauh yang dimiliki.
Kondisi tersebut berbanding terbalik dengan kalangan ekonomi atas yang memiliki perangkat komputer, laptop, akses wifi, hingga handphone bagi masing – masing anggota keluarganya.
“Kenapa yang selalu jadi korban adalah orang berada di lapis bawah? Karena yang atas ini di rumahnya ada komputer, punya wifi, punya hp masing – masing. Sehingga mereka tidak mengalami masalah pembelajaran jarak jauh,” ucapnya,
Apalagi Pengurus Persatuan Keluarga Besar Tamansiswa (PKBTS) itu menyebut bantuan pemerintah berupa kuota internet bagi pelajar datang terlalu lambat. Bantuan tersebut datang tiga bulan setelah pandemi Covid-19 melanda Indonesia.
Menurutnya kondisi demikian justru kian memperlebar kesenjangan antara kalangan pelajar dari keluarga ekonomi atas, dengan pelajar dari keluarga ekonomi lemah.
“Perhatian pemerintah itu relatif lambat, misal soal bantuan kuota. Itu baru terjadi bulan ke-3 setelah pandemi. Ini ternyata juga tidak bisa diakses kecuali situs lain kecuali yang sudah ditentukan. Kalau kita cermati sebetulnya masa pandemi justru makin memperlebar akses pendidikan antara kelompok menengah bawah karena keterbatasan sarana prasarana,” tegas dia. (LBM)