Kabarpendidikan.id Pandemi lagi-lagi membawa dampak merugikan bagi sektor pendidikan. Data terakhir menunjukan kinerja Kemendikbud mendapat predikat rapor dengan penilaian merah dari populasi masyarakat Indonesia untuk kinerja mereka selama satu tahun terakhir.
Kemendikbud memang tak bisa menjadi satu-satunya subjek yang disalahkan terkait keberlangsungan kinerja yang minus disektor pendidikan selama satu tahun terakhir. Namun sebagai otoritas yang berwenang dalam menjalankan roda pendidikan nasional, maka tak ayal Kemendikbud perlu mendapat auto kritik terkait kinerja mereka dalam satu tahun terakhir.
Variabel yang mendapatkan predikat rapot merah tersebut diantaranya sistem PJJ yang terasa prematur, bantuan kuota internet yang tidak sebanding dengan pengeluaran warga pendidikan saat melaksanakan kuliah via aplikasi virtual dan yang paling menjadi perhatian ialah sistem kurikulum yang menurut Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) minim pemetaan masalah dan terkesan terburu-buru.
Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mendesak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk menetapkan satu kurikulum untuk seluruh sekolah di masa pandemi ini. Yaitu Kurikulum darurat dalam situasi khusus karena kondisi bencana.
"Meski di wilayah zona hijau sekalipun, jam tatap muka harus dikurangi, tidak bisa normal. Sehingga, ketika waktu pembelajaran sudah dikurangi, maka kurikulumnya juga harus menyesuaikan," kata Sekjen FSGI, Heru Purnomo, Senin, 26 Oktober 2020.
Heru juga meminta Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Makarim untuk memperhatikan permasalahan dunia pendidikan secara lebih detail. Baginya penyelesaian masalah pendidikan harus dilakukan secara terperinci.
Terlebih dunia pendidikan saat ini juga terdampak akibat dari pandemi covid-19. Untuk masalah Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) misalnya, FSGI meminta Kemendikbud untuk memetakan permasalahannya terlebih dahulu.
"Melakukan pemetaan permasalahan PJJ dengan data terpilah, misalnya masalah hambatan PJJ secara daring dan luring per sekolah, per kecamatan, per kabupaten, per provinsi, dan secara nasional," kata Heru.
Menurutnya, data ini dibutuhkan untuk melihat permasalahan pendidikan secara spesifik. Sehingga intervensi pemerintah menjadi tepat sasaran dan tepat manfaat.
Lebih lanjut, menurutnya kebijakan Nadiem yang juga harus ditemukan solusi masalahnya adalah kebijakan Asesmen Nasional sebagai pengganti kebijakan Ujian Nasional yang telah dihapuskan di awal kepemimpinannya.
FSGI dalam hal ini mendorong persiapan Asesemen Nasional melibatkan pemangku kepentingan terkait, terutama guru dan sekolah harus dilakukan.
"Pemerintah harus membuka ruang publik untuk mengawasi persiapan, uji coba dan pelaksanaan Asesmen Nasional," ujar dia.
Di samping itu untuk Program Organisasi Penggerak (POP) juga harus dievaluasi. POP yang sempat menjadi polemik tak boleh menjadi sumber masalah baru di dunia pendidikan.
"POP dievaluasi menyeluruh, jika ternyata berpotensi mubazir dan merugikan keuangan negara, sebaiknya POP dibatalkan, alihkan untuk program lain yang jauh lebih bermanfaat," pungkasnya. (LBM)