Potensi terjadinya diskontiunitas proses pembelajaran sangat besar. Tidak mudah bagi anak untuk membangun persepsi bahwa bersekolah di rumah hanya mengandalkan pola komunikasi virtual melalui HP/Laptop. Diskontinuitas tidak hanya terkait kognitif mata pelajaran, namun juga habit dari peserta didik itu sendiri yang justru menjadi unsur utama bagi pembentukan karakter.- Rahman Ghani
Keberadaan
COVID-19 adalah fakta.Memang tidak dapat dipungkiri bahwa tetap saja ada keraguan
bagi sebagian orang: benarkah covid-19 ada?; jangan-jangan
hanya isu aja yang dibesar-besarkan oleh media atau konspirasi?; dan berbagai
pertanyaan lain yang menyertai keraguan sebagian masyarakat. Keraguan tersebut
adalah wajar karena memang keberadaan virus itu sendiri tidak dapat dilihat
dengan mata telanjang biasa; dan hanya bisa diketahui dari gejala ketika
mengenai seseorang. Namun, dari rangkaian kejadian yang terhampar di berbagai
daerah dalam beberapa bulan, kami meyakini bahwa pandemi COVID-19 adalah suatu fakta. Tidak hanya
di Indonesia, tapi juga di seluruh dunia. Hampir tidak ada negara yang luput
dari serangan COVID-19.
Dunia
seakan dikepung oleh “pasukan virus”, dan bahkan menurut para ahli, virus itu
pun mengalami mutasi. Kita tidak tahu sampai kapan pandemi ini akan berakhir. Bisa
jadi, mutasi virus COVID-19
menjadi salah satu sebab panjangnya pandemi ini. Masyarakat di seluruh dunia
pun hanya bisa menghindar atau bertahan, yang kemudian memunculkan strategi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang kemudian disebut social
distancing. Dan untuk melengkapi strategi menghindar, maka diperlukan
pakai masker, cuci tangan, dan selalu jaga jarak.
Salah
satu efek dari PSBB adalah menghindarkan dari segala bentuk kerumunan. Setiap
aktivitas yang berpotensi memunculkan kerumunan atau kumpulan orang banyak
tidak disarankan, bahkan dilarang. Kita mungkin masih ingat, bagaimana
pelaksanaan sholat berjamaah (dalam berbagai bentuk, termasuk sholat jumat,
hari raya) ditinjau ulang dan disarankan untuk melakukan sholat di rumah
masing-masing; bahkan ibadah haji –termasuk umroh-- juga telah dilakukan
moratorium. Begitu pula tempat-tempat keramaian lain, seperti pasar,
perkantoran, dan seterusnya.
Terkait
dengan kondisi tersebut, adalah penting untuk mencermati fenomena sekolah.
Seperti diketahui, selama ini proses pembelajaran anak-anak dilakukan dalam
suatu ruang. Pendidik
dan peserta didik
bertatap muka langsung untuk melaksanakan proses pembelajaran tersebut. Namun,
sekolah kini harus beradaptasi dengan keadaan dan menjalankan proses
pembelajaran melalui daring (online).
Beruntung ditengah pandemi ini sudah didukung dengan perkembangan Teknologi Informasi (TI) yang sudah canggih,
sehingga sangat membantu proses pembelajaran ketika dilakukan melalui online. Kita tidak bisa bayangkan,
bagaimana jika teknologi informasi belum ada. Maka, sekolah tentu mengandalkan
kepercayaan niat baik peserta didik untuk belajar di rumah atau bahkan terhenti.
Sekalipun
demikian, kondisi pandemi yang belum jelas ujungnya ini, maka pertanyaanya juga
sama: sampai kapan model persekolahan online
seperti sekarang ini berlangsung ?; ataukah ini akan menjadi model pesekolahan masa
depan ?
Semua
jawaban sangat terbuka, dan dunia pendidikan lebih memilih untuk mengambil
langkap adaptif. Dunia pendidikan tampak belum siap ketika dihadapkan dengan
kebencanaan seperti pandemi sekarang ini. Berbagai langkah-langkah yang
dilakukan lebih sebagai respon kondisi, dan minim adanya mitigasi-mitigasi
risiko dari setiap kondisi.
Pembelajaran
online, secara kognitif, barangkali tidak banyak mereduksi. Para peserta didik dapat mengembangkan
belajar di rumah dengan membaca buku maupun sumber belajar lain. Akan tetapi,
dari sisi afektif dan psikomotorik, hal ini mengandalkan kondisi orang tua dan rumah
yang tidak semuanya dapat dikontrol. Keterlibatan orang tua dalam pembelajaran
anak bisa jadi sudah menggantikan peran guru di sekolah yang seharusnya
dijalani peserta didik. Masalahnya adalah kondisi waktu dan
kemampuan orang tua sangat beragam. Maka, dapat dipahami jika ada orang tua yang
bahkan “kesal” dengan kondisi anak ketika lambat dalam
menerima pembelajaran, sebagaimana yang terjadi di Banten dan mungkin juga di
beberapa daerah lain.
Pendeknya,
terdapat beberapa kelemahan yang perlu dicermati terkait dengan adaptasi
pendidikan online seperti sekarang
ini, antara lain potensi reduksi terhadap beberapa aspek dalam pendidikan anak,
mulai dari aspek intimacy (keintiman)
antara pendidik
dan peserta didik,
keteladanan, kedisiplinan, dan aspek-aspek afektif lain.
Dalam
aras yang lebih luas, kondisi sekarang ini berpotensi terjadinya de-schooling. Jaga Jarak yang muncul
sebagai konsekuensi untuk bertahan dari COVID-19 telah memaksa sekolah-sekolah
menjadi ruang-ruang kosong. Tidak ada lagi keramaian pagi hari anak-anak
sekolah berangkat yang memadati jalan raya, kecuali di daerah-daerah tertentu yang masih zona hijau dan atau
desa-desa yang dinyatakan aman. Tidak ada lagi apel bendera para peserta didik apalagi kegiatan
pembelajaran di dalam
kelas. Sekolah-sekolah menerapkan pola
pembelajaran daring. Anak-anak tiap
pagi mulai sibuk dengan perangkat HP atau laptop untuk mengikuti kegiatan
pembelajaran dari sekolah masing-masing. Muncul celotehan: “bolos sekolah
sekarang sangat mudah, cukup mematikan tampilan video yang ada pada aplikasi zoom atau
sejenisnya”. Artinya, bisa saja nama peserta didik tampil dalam layar online, namun peserta didik tersebut ternyata
tidur dalam mengikuti proses pembelajaran atau setidaknya beraktivitas lain.
Dengan
mudah kita dapat membaca konsekuensi dari kondisi tersebut. Pertama, anak-anak yang masih dalam proses
pembentukan, pelan tapi pasti mengalami pola habit yang baru. Dalam kondisi biasa, umumnya anak-anak SD/MI atau
SMP/MTs bahkan SMA/MA/SMK tidak diperbolehkan sekolah dengan membawa HP. Namun,
kini mereka harus terbiasa dengan HP. Keakraban pada HP pada khususnya, dan
dunia internet pada umumnya, akhirnya menggoda para peserta didik untuk menjelajah
“dunia lain” yang lebih mengasyikkan ketimbang pelajaran. Kedua,
ruang belajar dan ruang istirahat bahkan ruang bermain kini menyatu, yaitu di
rumah. Hal ini akan memberi pengaruh
tersendiri bagi perkembangan anak. Ketiga, pola pengawasan pendidik relatif lebih longgar, karena
tidak semua aktivitas p eserta didik
terpantau secara langsung. Kegiatan pembelajaran banyak mengandalkan peran
orang tua yang sangat beragam ketersediaan waktu, kemampuan, dan kemauan.
Dari
beberapa aspek tersebut, maka potensi terjadinya diskontiunitas proses
pembelajaran sangat besar. Tidak mudah bagi anak untuk membangun persepsi bahwa
bersekolah di rumah hanya mengandalkan pola komunikasi virtual melalui HP/Laptop. Diskontinuitas tidak hanya
terkait kognitif mata pelajaran, namun juga habit
dari peserta didik
itu sendiri yang justru menjadi unsur utama bagi pembentukan karakter.
Akhirnya,
proses dan skema pendidikan yang telah dibangun puluhan tahun di negeri ini,
tampaknya dipaksa untuk resetting. Para
pihak –terutama pada stakeholders—tampaknya
harus bekerja keras berpikir tentang pendidikan, jika pendidikan bagi anak-anak
kita tidak mengalami diskontinuitas. Tanpa ada upaya untuk melakukan mitigasi
dan respon yang tepat dan cepat, di hadapan pandemi dunia pendidikan akan tampak “compang camping” dan tidak mampu menawarkan kepada para
orang tua murid dan juga peserta
didik
kondisi yang layak dan melindungi dari risiko kehilangan proses pembelajaran.
Akhirnya,
salah satu hal yang perlu dipikirkan adalah dengan mengubah cara pandang apokaliptik
pendidikan dan memastikan bahwa ujung dari pandemi ini tidak akan menjadi “penderitaan”
berkepanjangan bagi dunia pendidikan, namun sebuah awalan yang baru.
Oleh: (Abdul Rahman A.Ghani/Wakil
Rektor I UHAMKA).