Jakarta. kabarpendidikan.id- Yayasan Wahana Visi Indonesia (WVI) menyatakan 79% guru pendidikan khusus (inklusi) cenderung lebih khawatir dengan pembukaan sekolah dibandingkan guru dari satuan pendidikan umum. Kekhawatiran utama terkait risiko peserta didik dan guru tertular covid-19.
"Kekhawatiran guru saat sekolah dibuka kembali memang terkait transmisi virus. Baik khawatir guru yang menulari siswa, guru yang tertular dari siswa, atau keluarga siswa yang tertular," kata Kepala Tim Pendidikan WVI, Mega Indrawati, secara daring, Kamis (22/10).
Dia menuturkan, guru pendidikan khusus cenderung tidak yakin terhadap pelaksanaan protokol kesehatan di sekolah. Terutama untuk peserta didik menerapkan jaga jarak (physical distancing) minimal 1,5 meter dan menggunakan masker di sekolah.
Sementara untuk protokol cuci tangan menggunakan sabun dan pengukuran suhu tubuh sebagian besar guru yakin dapat menerapkannya. Mega menyebutkan hal ini terkait anggapan bahwa Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) membutuhkan bimbingan yang khusus.
"Dari Focus Group Discussion (FGD) bersama guru sekolah luar biasa (SLB), ada opini bahwa ABK lebih sulit melaksanakan protokol kesehatan sehingga menjadi kelompok peserta didik paling rentan tertular covid-19," ungkap dia.
Kondisi itu mendorong mayoritas guru pendidikan khusus (40%) cenderung memilih pembelajaran jarak jauh (PJJ) daring. Sementara, sisanya memilih PJJ luring, lalu kombinasi PJJ daring dan luring, dan pembelajaran tatap muka.
Mega menyatakan para guru pendidikan khusus berpersepsi bahwa akhirnya SLB tidak bisa mengikuti kurikulum. Sebab menerapkan PJJ daring untuk pendidikan khusus sesungguhnya sulit, tetapi untuk pembelajaran tatap muka pun risiko ABK tertular covid-19 sangat tinggi.
Guru pendidikan khusus, lanjut Mega, membutuhkan pendampingan khusus untuk proses pembelajaran dan penyesuaian kurikulum. Serta membutuhkan kompetensi psikologis untuk mempersiapkan peserta didik dan orang tua peserta didik.
"Peserta didik dari SLB mengalami tingkat kecemasan, kegelisahan, dan lebih terdampak psikososialnya, sebab peserta didik dari SLB mungkin lebih sulit beradaptasi dengan perubahan seperti PSBB dan juga perubahan rutinitasnya," ungkap Mega.
Dia menyebut kepemimpinan yang kurang fleksibel di satuan pendidikan SLB juga menjadi masalah selama masa pandemi covid-19. Diperlukan koordinasi sesama SLB maupun kerja sama antara SLB dengan orang tua peserta didik untuk kelangsungan pembelajaran.
Survei tersebut dilakukan pada 18 Agustus-5 September 2020 dengan 27.046 responden guru dan tenaga kependidikan di 34 provinsi. Sebanyak 74% responden berasal dari pendidikan umum, sedangkan 26% dari pendidikan khusus.
Selain pengambilan data kuantitatif melalui aplikasi SIM PKB Kemendikbud dan jaringan WVI, survei juga mengambil data kualitatif melalui FGD. Antara lain melibatkan Ikatan Guru Pendidikan Khusus Indonesia dan Asosiasi Profesi Pendidikan Khusus Indonesia. (ERU)