Oleh Prof. Dr. Gunawan Suryoputro, M.Hum
Rektor UniversitasMuhammadiyah Prof. DR. HAMKA
Grafik perkembangan kasus penyebaran virus korona jenis baru
(Covid-19) di Indonesia terus mengalami peningkatan. Dalam tren skala nasional,
grafik pasien terkonfirmasi mengalami peningkatan yang signifikan, telah
mencapai lebih dari 80 ribu kasus. Begitu juga dengan kasus pasien meninggal.
Meskipun, memang diimbangi dengan tren pasien sembuh yang juga mengalami
peningkatan. Angka pasien yang masih dirawat karena Covid-19 kini menginjak
angka 34.598 (Kompas.com, 18/7). Jawa
Timur dan DKI Jakarta adalah termasuk penyumbang angka terbesar penyebaran
Covid-19.
Belum ada yang bisa memastikan apakah kasus Covid ini telah
mencapai puncaknya atau masih akan terus beranjak naik. Sementara itu, belum
juga ada tanda-tanda akan adanya penurunan kasus. Kondisi ini begitu
mengkhawatirkan bagi kita. Termasuk bagi insan akademisi dan para praktisi
pendidikan, baik di perguruan tinggi maupun jenjang pendidikan lainnya, yang
mesti bisa menjalankan berbagai kewajibannya di tengah pandemi. Bagaimana
tidak, kasus Covid-19 yang terus meningkat secara tajam membuat berbagai agenda
ikut terhambat. Mulai dari proses pembelajaran, bimbingan, KKN, hingga agenda-agenda
penelitian.
Sebenarnya, semua itu masih bisa disiasati sebagaimana
arahan Kemendikbud melalui Surat Edaran 3/2020 tentang Pencegahan Covid-19 pada
Satuan Pendidikan. Sehingga, perguruan tinggi dan lembaga pendidikan lainnya yang
terdapat di zona merah mesti menjalankan aktivitas pembelajaran dan berbagai
hal berkaitan dengan akademik secara virtual, meskipun telah memasuki masa PSBB.
Mulai dari kuliah, ujian tengah semester, bimbingan skripsi, ujian skripsi,
hingga wisuda pun dilakukan secara daring melalui aplikasi telekonferensi
video.
Hal tersebut sejenak membuat publik sedikit tenang karena
berbagai kewajiban dapat digugurkan. Tapi tak pelak juga merasa waswas tatkala
aktivitas semacam ini terus berlanjut tanpa kepastian. Yang justru membuat proses
pendidikan kehilangan akar tunggangnya. Maka, sudah semestinya sebagai wadah
insan intelektual, universitas melakukan perenungan untuk kembali pada
cita-cita luhur pendidikan dan tugas perguruan tinggi yang dikenal dengan
konsep Tridharma. Dalam konteks perguruan tinggi Muhammadiyah disebut
Caturdharma, yaitu: (1) pendidikan dan pengajaran, (2) penelitian, (3)
pengabdian masyarakat, dan (4) pengembangan al-Islam dan kemuhammadiyahan.
Akar tunggang pendidikan
Di tengah pandemi dan menjamurnya kelas-kelas virtual, ada
kekhawatiran yang menyebar di tengah masyarakat. Selain khawatir karena kondisi
ekonomi tengah terpuruk, publik merasa waswas ketika pembelajaran daring
berlanjut akan menggerus semangat lembaga pendidikan untuk menciptakan manusia
yang utuh. Alih-alih mencetak manusia yang unggul dalam intelektualitas dan
akhlak, lembaga pendidikan menjadikan generasi muda yang individualis dan
cenderung abai pada kondisi di sekitarnya.
Padahal, pandemi ini menjadi momentum bagi mereka untuk
meningkatkan kepekaan dan kepedulian sosial. Para pelajar atau mahasiswa pada
masa pandemi ini mesti diberikan ruang agar mereka mampu berperan aktif.
Jadikan itu nilai tambah bagi mereka. Nilai dalam artian value, bukan score.
Karena dengan nilai itulah mereka bisa hidup sebenar-benarnya hidup di tengah
masyarakat dan bangsa. Hal ini bisa terwujud bila perguruan tinggi kembali
menarik falsafah pendidikannya pada akar tunggang atau inti pendidikan itu
sendiri.
Akar tunggang atau inti pendidikan, menurut Buya Hamka, adalah
untuk membukakan mata orang agar penglihatannya luas dan jauh (Lembaga Budi: 139). Bila kita berpikir lagi
secara mendalam atas apa yang diungkapkan Buya Hamka tersebut, cita-cita
pendidikan yang ideal baik di perguruan tinggi maupun jenjang lainnya adalah upaya
untuk menciptakan manusia-manusia yang berbudi luhur, bermoralitas unggul,
bercakrawala pengetahuan luas, serta memiliki semangat kolektivitas dan
kepedulian sosial. Dengan begitu, mereka menjadi manusia dengan pemikiran luas
dan ringan tangan dalam membantu sesama. Sehingga, dengan modal itulah lulusan
dari suatu universitas, termasuk perguruan tinggi, mampu menjadi bagian dari
solusi yang mencerahkan bagi setiap persoalan hari ini sekaligus menjadi perancang
masa depan peradaban yang gemilang.
Universitas yang
Mencerahkan
Mencerahkan secara bahasa berakar dari kata “cerah”, yang
artinya “terang dan berseri”. Dalam Islam, kita kenal sebuah ungkapan yang
berbunyi “al-ilmu nuurun”, ilmu
adalah cahaya. Dengan cahaya itulah kita bisa mencerahkan dan menerangkan
dunia. Dalam QS al-Mujadalah ayat 11, Allah berjanji akan menaikkan derajat
orang yang berilmu dengan beberapa derajat. Maka, jadilah cahaya itu dengan
mengelola spirit keilmuan dengan baik dan arif. Dengan cahaya keilmuan itulah,
perguruan tinggi mesti hadir sebagai “pabrik” aktor-aktor perubahan dan
aktor-aktor pencerahan.
Spirit pencerahan adalah salah satu jargon yang sangat
identik dengan gerakan persyarikatan Muhammadiyah. Ungkapan sloganistik ini
seyogianya tidak hanya menjadi jargon bagi perguruan tinggi Muhammadiyah maupun
jenjang lainnya. Melainkan menjadi suatu spirit yang menggugah kesadaran
kolektif untuk melakukan pencerahan di bidang spiritual, intelektual,
emosional, dan sosial. Keempat komponen ini merupakan syarat terbentuknya akademisi-intelektual
berjiwa profetik yang autentik.
Perguruan tinggi dan lembaga pendidikan lainnya menjadi
wadah sekaligus alat untuk menyemai semangat keilmuan dan menebar spirit
pencerahan di tengah masyarakat. Semangat untuk berilmu yang berpadu dengan semangat
untuk beramal. Sehingga, perguruan tinggi akan menghasilkan manusia yang cakap dan
unggul dalam kompetensi spiritual, intelektual, emosional, dan sosial.
Merekalah para pemegang masa depan yang akan menunaikan tugas-tugas kenabian
yang masih panjang ini. Dengan kehadiran para aktor perubahan dan pencerahan
inilah bangsa kita akan mengalami perubahan yang besar.
Maka, membangun universitas pencerahan bukan hanya berbicara
soal mutu dan akreditasi kampusnya, melainkan juga perlu membangun manusia yang ada di dalamnya. Dengan kesadaran
akan konsep universitas pencerahan inilah masa-masa pandemi seperti ini bisa
dilalui dengan baik dan responsif, tanpa harus kehilangan akar tunggangnya
sebagai lembaga pendidikan tinggi.
Opini ini dimuat di suara Muhammadiyah